NURSING CARE

Selasa, 23 Oktober 2012

hubungan faktor-faktor pada perawat/bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru




PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Pendekatan program perawatan balita sakit yang dipakai selama ini adalah program intervensi secara terpisah untuk masing-masing penyakit, sehingga menimbulkan masalah kehilangan peluang dan putus pengobatan pada pasien. WHO dan UNICEF pada tahun 1994 mengembangkan suatu paket yang memadukan pelayanan terhadap balita sakit dalam satu paket tunggal yang disebut Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) untuk mengatasinya. Tahun 1997 IMCI atau Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) mulai dikembangkan di Indonesia (1).
Manajemen Terpadu Balita Sakit merupakan suatu pendekatan terhadap balita sakit yang dilakukan secara terpadu dengan memadukan pelayanan promosi, pencegahan, serta pengobatan terhadap lima penyakit penyebab utama kematian pada bayi dan balita di negara berkembang, yaitu pnemonia, diare, campak, dan malaria serta malnutrisi. MTBS digunakan sebagai standar pelayanan bayi dan balita sakit sekaligus sebagai pedoman bagi tenaga kesehatan khususnya perawat dan bidan di fasilitas pelayanan kesehatan dasar (2,3).
1
 
Sejak tahun 2006 -  2009 pelaksanaan MTBS di kota Banjarbaru dikembangkan secara bertahap telah dilaksanakan di 7 puskesmas, dimulai dengan pelatihan dokter, bidan dan perawat. Data dari Dinas Kesehatan Kota Banjarbaru, tercatat ada 49 petugas yang telah dilatih MTBS, terdiri dari 1 orang SKM, 6 orang dokter, 19 bidan dan 23 perawat (4)
Berdasarkan survey pendahuluan, pelayanan MTBS di puskesmas dilakukan oleh bidan dan perawat sedangkan dokter menerima konsul dan rujukan. Evaluasi dilakukan setiap tahun oleh Dinas Kesehatan untuk mengetahui kendala atau permasalahan yang timbul selama pelaksanaan MTBS. Hasil evaluasi terakhir bulan Mei 2009 pada 7 Puskesmas menunjukkan bahwa tingkat keterampilan petugas  mencapai nilai rata-rata  75,39 . Sementara itu tingkat kepatuhan petugas MTBS  baru  mencapai nilai 39,28. Standar nilai minimal yang dijadikan acuan oleh Depkes RI adalah 75 untuk kedua hal tersebut. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa tingkat kepatuhan petugas MTBS belum mencapai nilai minimal Depkes.. Selain itu juga terdapat  permasalahan yang dihadapi pada beberapa puskesmas yaitu jadwal MTBS yang telah dibuat tidak dipatuhi, tidak semua anak sakit dilakukan pemeriksaan secara MTBS (4).
Menurut Mardijanto dan Mubasysyir (1,5) pelaksanaan MTBS yang telah berjalan bergantung pada petugas yang sudah pernah dilatih. Variabel pengetahuan, motivasi dan keterampilan petugas menunjukkan hubungan bermakna terhadap  penatalaksanaan pneumonia dengan MTBS. Penelitian Pratono, dkk (6) mengenai evaluasi MTBS menunjukkan bahwa lemahnya pengetahuan dan ketrampilan petugas dalam mengerjakan MTBS  merupakan hal yang menghambat praktik MTBS berjalan.
Pelaksanaan MTBS dilakukan dengan cara menilai, membuat klasifikasi penyakit, menentukan tindakan/pengobatan atau tindak lanjut dan konseling. Kegiatan ini memerlukan kemampuan atau prestasi kerja yang baik dari petugas yang melaksanakannya (1). Prestasi kerja seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor baik dari dalam diri seperti  pengetahuan, sikap, motivasi, pendidikan, lama bekerja. Faktor dari luar seperti insentif dan pelatihan (8)
 Menurut Notoatmodjo (9), tingkat pengetahuan seseorang mempengaruhi perilaku individu, makin tinggi pengetahuan seseorang makin tinggi kesadaran untuk berperan serta. Motivasi merupakan dorongan kerja yang timbul pada diri seseorang untuk berperilaku dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan (10). Faktor pendidikan sering memegang syarat paling pokok untuk memegang fungsi tertentu dalam bekerja. Sementara jenis pelatihan yang pernah diikuti seseorang yang berhubungan dengan bidang kerjanya akan dapat mempengaruhi ketrampilan, dan meningkatkan kepercayaan pada kemampuan dirinya (11). Masa kerja berhubungan erat dengan pengalaman yang didapat dalam menjalankan tugas seseorang. Orang yang berpengalaman dipandang lebih mampu dalam melaksanakan tugas (9).
Mengingat petugas kesehatan yang melaksanakan tatalaksana MTBS adalah perawat dan bidan maka diharapkan pelayanan promotif dan preventif lebih optimal dibandingkan kuratif. Diperlukan petugas yang berwawasan dan memiliki keterampilan dalam melaksanakannya (7). Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai faktor -  faktor yang berhubungan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru, ditinjau dari segi pengetahuan, motivasi, pendidikan, pelatihan dan pengalaman kerja perawat / bidan.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana hubungan faktor-faktor pada perawat/bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru  periode bulan Januari – Februari 2010 ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan faktor –faktor pada perawat/bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru periode bulan Januari – Februari 2010.
Tujuan khusus penelitian ini adalah :
a.       Mengidentifikasi pelaksanaan MTBS, pengetahuan, motivasi, pendidikan, pelatihan dan pengalaman kerja perawat/bidan di Puskesmas se-kota Banjarbaru.
b.      Menganalisis hubungan pengetahuan perawat/bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru.
c.       Menganalisis hubungan motivasi perawat/bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru
d.      Menganalisis hubungan pendidikan perawat/bidan dengan pelaksanaan MTBS di puskesmas se-kota Banjarbaru.
e.       Menganalisis hubungan pelatihan perawat/bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru
f.       Menganalisis hubungan pengalaman kerja perawat/bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru

D.  Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan atau informasi mengenai faktor - faktor pada petugas kesehatan ( perawat / bidan ) yang berhubungan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas sehingga dapat digunakan untuk peningkatan kegiatan pelaksanaan MTBS terutama peningkatan kinerja petugas kesehatan khususnya perawat/bidan di Puskesmas se-kota Banjarbaru.



 
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.  Manajemen Terpadu Balita Sakit ( MTBS )
1. Pengertian
Manajemen Terpadu Balita Sakit merupakan suatu pendekatan keterpaduan dalam tatalaksana bayi dan balita sakit yang datang berobat kefasilitas rawat jalan dipelayanan kesehatan dasar. MTBS mencakup upaya perbaikan manajemen penatalaksanaan terhadap penyakit seperti pneumonia, diare, campak, malaria, infeksi telinga, malnutrisi serta upaya peningkatan pelayanan kesehatan, pencegahan penyakit seperti imunisasi, vitamin A dan konseling pemberian ASI atau makan (3).
2. Pelaksanaan MTBS
Pelaksanaan MTBS   berupa proses manajemen kasus yang menangani balita sakit atau bayi muda difasilitas pelayanan kesehatan dasar seperti puskesmas, puskesmas pembantu maupun melalui kunjungan rumah. Proses manajemen kasus ini disajikan dalam suatu bagan yang memperlihatkan urutan langkah-langkah dan penjelasan cara pelaksanaannya, sehingga petugas dapat menggunakan bagan ini sebagai acuan dalam melaksanakan MTBS (3).
Bagan tersebut menjelaskan langkah-langkah pelaksanaan MTBS berikut ini :
6
 
a.  Menilai dan membuat klasifikasi anak sakit umur 2 bulan-5 tahun. Menilai anak berarti melakukan penilaian dengan cara anamnesis dan pemeriksaan fisik. Membuat klasifikasi berarti membuat sebuah keputusan mengenai kemungkinan penyakit atau masalah serta tingkat keparahannya. Klasifikasi merupakan suatu kategori untuk menentukan tindakan, bukan sebagai diagnosa spesifik penyakit. Bagan MTBS merekomendasikan tindakan yang tepat untuk setiap klasifikasi. Pada langkah ini petugas melakukan (12) : 1) menanyakan kepada ibu mengenai masalah yang dihadapi anaknya, 2) memeriksa tanda bahaya umum seperti : tidak bisa minum atau menyusu, memuntahkan semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar,   3)  menanyakan kepada ibu mengenai empat keluhan utama yaitu batuk atau sukar bernafas, diare, demam dan masalah telinga. Apabila ada keluhan utama                                                                          dilakukan penilaian lebih lanjut gejala yang berhubungan dengan keluhan utama, membuat klasifikasi penyakit anak berdasarkan gejala yang ditemukan, 4) memeriksa dan mengklasifikasikan status gizi, 5) memeriksa dan mengklasifikasikan anemia,  6) memeriksa status imunisasi dan pemberian vitamin A pada anak dan menentukan apakah anak membutuhkan imunisasi dan/atau vitamin A pada saat kunjungan tersebut, 7) menilai masalah keluhan lain yang dihadapi anak.
b. Menentukan tindakan dan memberi pengobatan. Hal ini berarti menentukan tindakan dan memberi pengobatan di fasilitas kesehatan sesuai dengan setiap klasifikasi, memberi obat untuk diminum di rumah dan juga mengajari ibu tentang cara memberikan obat serta tindakan lain yang harus dilakukan dirumah. Pengobatan anak sakit dapat dimulai di klinik dan diteruskan di rumah. Anak yang sakit berat perlu dirujuk ke rumah sakit untuk perawatan lebih lanjut, dalam hal ini perlu dilakukan tindakan pra rujukan. Pada langkah ini petugas dapat melakukan (13) : 1) menentukan perlunya dilakukan rujukan segera, 2) menentukan tindakan dan pengobatan pra rujukan, 3) merujuk anak, menjelaskan perlunya rujukan,  4) menentukan tindakan dan pengobatan untuk anak yang tidak memerlukan rujukan, 5) memilih obat yang sesuai dan menentukan dosis dan jadwal pemberian, 6) memberi imunisasi setiap anak sakit sesuai kebutuhan, 7) memberi suplemen vitamin A,  8) menentukan waktu untuk kunjungan ulang.
c.  Memberi konseling bagi ibu. Kegiatan ini termasuk menilai cara pemberian makan anak, memberi anjuran pemberian makan yang baik untuk anak serta kapan harus membawa anaknya kembali kefasilitas kesehatan.Pada pemberian konseling pada ibu, petugas dapat melakukan (14) : 1) menggunakan keterampilan komunikasi yang baik, 2) mengajari ibu cara memberikan obat oral di rumah, 3) mengajari ibu cara mengobati infeksi lokal dirumah, 4) mengajari ibu cara pemberian cairan dirumah, 5) melakukan penilaian pemberian ASI dan makanan anak, 6) menentukan masalah pemberian ASI dan makanan anak, 7) konseling bagi ibu tentang masalah pemberian ASI dan makanan, 8) menasihati ibu tentang : kapan kembali kunjungan ulang, kapan kembali segera untuk perawatan lebih lanjut, kapan kembali untuk imunisasi dan pemberian vitamin A, kesehatannya sendiri, 9) menentukan prioritas nasihat.
d. Manajemen Terpadu Bayi Muda kurang dari 2 bulan. Meliputi : menilai dan membuat klasifikasi,menentukan tindakan dan memberi pengobatan, konseling dan tindak lanjut pada bayi umur kurang dari 2 bulan baik sehat maupun sakit. Pada prinsipnya, proses manajemen kasus pada bayi muda kurang dari 2 bulan tidak berbeda dengan anak sakit umur 2 bulan sampai 5 tahun (3).
e.  Memberi pelayanan tindak lanjut. Hal ini berarti menentukan tindakan dan pengobatan saat anak datang untuk kunjungan ulang. Sebagian anak sakit perlu datang lagi ke petugas kesehatan untuk pelayanan tindak lanjut. Ibu telah diberitahu kapan harus kembali untuk kunjungan ulang sesuai dengan klasifikasi penyakit. Adapun langkah-langkah untuk menangani kunjungan ulang adalah (15) : 1) menentukan apakah kunjungan anak merupakan kunjungan ulang, 2) jika merupakan kunjungan ulang, menilai tanda-tanda yang sesuai dengan petunjuk dalam kotak tindak lanjut untuk klasifikasi selanjutnya, 3) memilih tindakan dan pengobatan berdasarkan tanda-tanda yang ada pada anak saat kunjungan ulang,      4) jika anak mempunyai masalah baru, menilai dan mengklasifikasikan anak seperti pada kunjungan pertama.
3.  Sarana dan prasarana dalam pelaksanaan MTBS

Penanganan balita sakit yang datang ke puskesmas tentunya memerlukan sarana dan prasarana, tidak terkecuali bila penanganannya dengan metode MTBS. Sarana dan prasarana sudah di atur sedemikian rupa sehingga menjadi standar untuk pengadaan barang yang diperlukan. Sebenarnya tidak banyak peralatan dan obat-obatan yang diperlukan untuk terlaksananya MTBS. Peralatan yang diperlukan antara lain timer untuk menghitung nafas, kalaupun tidak ada bisa memakai arloji dengan jarum detik, termometer, timbangan badan, tensi atau manset anak. Obat-obatan yang digunakan dalam penanganan balita sakit adalah obat yang sudah lazim ada. Bahan cetakan juga diperlukan dalam pelaksanaan MTBS, meliputi formulir MTBS, Kartu Nasehat Ibu (KNI), buku bagan (1,6,16).
Menurut penelitian Mieke (17) bahwa diperlukan perbaikan kondisi dukungan fasilitas di puskesmas pelaksana MTBS untuk meningkatkan respon ibu balita sakit dalam mencari pengobatan yang benar atau saat tepat balita sakit memerlukan pengobatan.
4.  Dukungan manajemen
Dukungan manajemen dari Dinas kesehatan terhadap pelaksanaan MTBS sangat penting, terutama dalam penyediaan sarana dan prasarana seperti obat-obatan, peralatan, bahan cetakan. Dinkes juga berperan besar dalam pengadaan pelatihan MTBS bagi petugas. Supervisi dari Dinkes sangat diperlukan untuk kemajuan program, mengatasi kesulitan di lapangan, membangkitkan motivasi serta merangsang petugas untuk bekerja lebih baik lagi (6).
Kepala puskesmas sebagai pemimpin atau manajer sangat besar pengaruhnya bagi pelaksanaan MTBS di puskesmas. Kepala puskesmas yang mampu menjalankan perannya sebagai pemimpin dan manajer akan mampu membuat tim MTBS yang berdaya guna melalui pembentukan hubungan kerjasama yang kuat di antara staf sehingga menciptakan komitmen yang kuat untuk memberikan waktu dan kemampuannya. Kemampuan manajemen yang baik membantu membangun dan menjaga kelangsungan praktik MTBS (6). Penelitian Getruida (18) menjelaskan bahwa puskesmas yang kualitas pelayanannya baik (sesuai standar MTBS) memiliki angka kesembuhan yang lebih tinggi pada anak balita dibandingkan dengan puskesmas yang kualitas pelayanannya tidak standar MTBS.
5. Petugas pelaksana MTBS
Pelaksanaan MTBS dilakukan oleh petugas kesehatan yang telah dilatih antara lain dokter, perawat dan bidan. Petugas yang aktif melaksanakan kegiatan di puskesmas adalah perawat dan bidan. Sementara dokter menerima konsul dari petugas MTBS dan melakukan rujukan ke rumah sakit. Keterkaitan peran dan tanggung jawab antar petugas puskesmas sangat erat. Oleh karena itu seluruh petugas kesehatan di puskesmas perlu memahami MTBS dan perannya untuk memperlancar penerapan MTBS.  Hal tersebut diatas terkait dengan alur pelayanan yang disesuaikan dengan penerapan MTBS (13,16).
Pemeriksaan balita sakit di puskesmas ditangani oleh tim yang dipimpin oleh pengelola MTBS yang berfungsi sebagai case manager yang berfungsi sebagai pemeriksa sekaligus pemberi tindakan dan konseling serta melibatkan anggota lain seperti juru imunisasi, petugas gizi dan petugas kesling. Petugas MTBS mengirim pasien ke petugas yang dibutuhkan apabila diperlukan konseling yang berkaitan dengan salah satunya. Sementara petugas apotik bertugas dalam  pemberian obat dan memberikan konseling walaupun konseling mengenai cara pemberian obat, dosis, lama pemberian obat sudah dilakukan petugas MTBS (6,16).





B. Faktor yang Berhubungan dengan Petugas Kesehatan dalam Pelaksanaan MTBS

Azwar (19) mengemukakan bahwa untuk kepentingan umum seperti pelayanan kesehatan diperlukan tenaga, dana, sarana dan metoda. Tenaga memegang peranan paling penting untuk mencapai keberhasilan dalam pelaksanaan suatu tindakan. Begitu pula dengan pelaksanaan MTBS memerlukan kemampuan atau prestasi kerja yang baik dari petugas yang melaksanakannya (1). Secara umum prestasi kerja seseorang dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri sendiri maupun dari luar (8)
1. Faktor dari dalam diri (internal)
a.  Pengetahuan. Merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior) (9).
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu (9) : 1) tahu (know), diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima, 2) memahami (comprehension), diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yag diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi   tersebut   secara   benar,  3)  aplikasi   (aplication),  diartikan   sebagai
kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya, 4) analisis (analysis), adalah  suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain, 5) sintesis (synthesis), menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru, 6) evaluasi (evaluation), berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian didasarkan pada suatu kriteria yang telah ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria yang telah ada.
b.  Sikap (Attitude). Merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku (9). Komponen pokok sikap (9) : 1)  kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek, 2)  kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek, 3)  kecenderungan untuk bertindak (trend to behave).
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan,yaitu (9) : 1) menerima (receiving) diartikan  bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek), 2) merespon (responding) yaitu memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap, 3) menghargai (valuing) yaitu mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga,  4) bertanggung jawab (responsible) berarti bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
c.  Motivasi. Motivasi berasal dari perkataan motif (motive) yaitu sesuatu yang merupakan alasan mengapa seseorang bertindak. Motivasi adalah suatu set atau kumpulan perilaku yang memberikan landasan bagi seseorang untuk bertindak dalam suatu cara yang diarahkan kepada tujuan spesifik tertentu. Motivasi juga dapat didefinisikan sebagai semangat atau dorongan, terhadap seseorang untuk melakukan serangkaian kegiatan dengan bekerja keras dan cerdas, demi mencapai tujuan tertentu (20,21).
Menurut Maslow (teori hierarki), pada hakikatnya manusia selalu mempunyai keinginan untuk memenuhi kebutuhannya. Setelah kebutuhan dasar dipenuhi, kebutuhan yang berada diatasnya merupakan kebutuhan dominan yang ingin dipenuhi. Kebutuhan kita digambarkan menjadi lima kategori yang potensial sebagai pendorong motivasi kerja, yaitu kebutuhan dasar fisiologis, rasa aman. kebutuhan bersosialisasi, kebutuhan ego / penghargaan, dan kebutuhan beraktualisasi diri (20).
Seorang ahli perilaku Douglas McGregor menyampaikan dua konsep tentang manusia, yang disebutnya teori X dan Y, yang dapat digunakan sebagai bahan rujukan untuk mengambil tindakan yang dibutuhkan. Teori X melihat manusia secara pesimistik, dimana manusia pada dasarnya hanya mau bekerja keras bila ia diawasi dan dikontrol dengan ketat. Sedangkan teori Y mempunyai pandangan yang positif terhadap manusia, yaitu manusia senang bekerja dan ingin menunjukkan prestasi kerja yang tinggi (21).
Teori dua faktor dari Herzberg, mengemukakan ada sejumlah faktor yang berhubungan dengan kepuasan kerja (faktor motivasi) dan faktor yang menyebabkan ketidakpuasan (dissatisfaction) dikenal juga faktor hygiene atau maintenance. Faktor-faktor ini erat hubungannya dengn kebutuhan akan penghargaan dan pengembangan diri. Faktor motivasi dijadikan sebagai faktor yang dapat meningkatkan kinerja personel (20,21)
d.  Pendidikan. Menurut UU Nomor 2 tahun 1989, Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya dimasa yang akan datang (22). Tingkat pendidikan merupakan salah satu unsur karakteristik seseorang. Tingkat pendidikan formal menunjukkan intelektual atau tingkat pengetahuan seseorang. Hal ini dapat dipahami dengan pendidikan yang lebih banyak untuk mendapat informasi dan ia akan lebih terlatih untuk mengolah, memahami, mengevaluasi, mengingat kemudian menjadi pengetahuan yang dimiliknya (11).
Menurut Siagian (23) menyatakan bahwa pendidikan bukan hanya memberikan pengetahuan saja secara langsung dengan pelaksanaan tugas akan tetapi merupakan sarana untuk mengembangkan diri serta kemampuan memanfaat semua sarana yang ada untuk kelancaran pelaksanaan tugas dalam rangka memenuhi fungsi-fungsi manajemennya. Penelitian Halimudin (24) menyatakan bahwa tingkat pendidikan berhubungan dengan kualitas penatalaksanaan pneumonia.
e. Pengalaman Kerja. Masa kerja berhubungan erat dengan pengalaman-pengalaman yang didapat dalam menjalankan tugas mereka yang berpengalaman dipandang lebih mampu dalam melaksanakan tugas, makin lama masa kerja seseorang maka kecakapan mereka akan lebih baik, karena sudah menyesuaikan diri dengan pekerjaannya (9). Menurut penelitian  Halimudin (24) menyatakan bahwa pengalaman kerja  mempunyai hubungan yang bermakna dengan kualitas penatalaksanaan pneumonia.
2. Faktor dari luar diri (eksternal)
a. Insentif. Merupakan perangsang atau pendorong yang diberikan dengan sengaja kepada pekerjaan agar timbul semangat yang lebih besar untuk berprestasi. Insentif yang diterima akan berhubungan langsung dengan kebutuhan pokok karyawan seperti kebutuhan ekonomi untuk masa sekarang maupun akan datang. Kebutuhan yang relatif terpenuhi akan menyebabkan lebih dapat berkonsentrasi terhadap pekerjaan (25)
b.  Pelatihan. Merupakan suatu proses dimana peserta pelatihan mengalami perubahan keterampilan, pengetahuan dan kemampuan untuk dapat memenuhi standar tertentu sesuai dengan tujuan perusahaan dan tujuan individu yang bersangkutan. Pelatihan dimaksudkan untuk menutupi kesenjangan antara kemampuan tenaga petugas dengan tuntutan tugasnya dan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan (26).
 Jenis pelatihan yang pernah diikuti seseorang yang berhubungan dengan bidang kerjanya akan dapat mempengaruhi keterampilan dan sikap mentalnya serta meningkat kepercayaan pada kemampuan dirinya, hal ini tentu akan berpengaruh positif tehadap kerja dari karyawan yang bersangkutan (11). Berdasarkan penelitian Mardijanto dan Mubasysyir (1) menyatakan bahwa pelaksanaan MTBS yang telah berjalan bergantung pada petugas yang sudah pernah dilatih.

















 
BAB  III
LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS

A. Landasan Teori
Manajemen Terpadu Balita Sakit merupakan suatu pendekatan keterpaduan dalam tatalaksana bayi dan balita sakit yang datang berobat ke fasilitas rawat jalan di pelayanan kesehatan dasar. MTBS mencakup upaya perbaikan manajemen penatalaksanaan terhadap penyakit seperti pneumonia, diare, campak, malaria, infeksi telinga, malnutrisi serta upaya peningkatan pelayanan kesehatan, pencegahan penyakit seperti imunisasi, vitamin A dan konseling pemberian ASI atau makan (3).
Pelaksanaan MTBS   berupa proses manajemen kasus dengan langkah-langkah antara lain menilai, mengklasifikasikan penyakit, menentukan tindakan dan pengobatan atau pelayanan tindak lanjut dan  memberi konseling bagi ibu. Penerapan MTBS di puskesmas merupakan suatu sistem, sehingga keterkaitan peran dan tanggungjawab antar petugas sangat erat. Kelancaran kegiatan ini didukung pula dengan adanya sarana dan prasarana yang tersedia di puskesmas termasuk juga dukungan manajemen dari dinkes (3,6,16).
18
 
Keberhasilan pelaksanaan MTBS tentunya tidak lepas dari peran petugas kesehatan khususnya perawat / bidan yang secara aktif melakukan pelayanan pada poli anak /MTBS di puskesmas. Pelayanan promotif dan preventif lebih dioptimalkan daripada kuratif, sehingga diperlukan petugas yang berwawasan dan memiliki keterampilan yang baik terhadap pelaksanaan program (7).
Secara umum prestasi kerja yang dimiliki seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor baik dari dalam diri (internal) maupun dari luar (external). Faktor dari dalam diri seperti pengetahuan, sikap, pendidikan, pengalaman /lama bekerja, motivasi. Sementara  faktor dari luar antara lain adanya insentif dan pelatihan (8).

B. Hipotesis
1.      Ada hubungan pengetahuan perawat/bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru.
2.      Ada hubungan motivasi perawat/bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru
3.      Ada hubungan pendidikan perawat/bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru
4.      Ada hubungan pelatihan perawat/bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru
5.      Ada hubungan pengalaman kerja perawat/bidan dengan pelaksanaan MTBS  di Puskesmas se-kota Banjarbaru

METODE PENELITIAN

A.  Rancangan Penelitian
Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan menggunakan  pendekatan  cross sectional

B.  Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah  seluruh perawat dan bidan yang aktif bertugas di poli anak / MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru sebanyak 32 orang.

C.  Instrumen Penelitian
Instrumen  yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner dan daftar tilik pengamatan tata laksana MTBS. Kuesioner yang digunakan telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas dengan hasil terlampir (lampiran 5). Sumber referensi dalam pembuatan kuesioner pengetahuan diambil dari modul pelatihan MTBS revisi tahun 2008.

D. Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah pengetahuan, motivasi, pendidikan, pelatihan dan pengalaman kerja perawat/bidan.
2. Variabel Terikat
21
 
Variabel terikat pada penelitian ini adalah pelaksanaan MTBS di Puskesmas.
E. Definisi Operasional
1.  Pelaksanaan MTBS
Pelaksanaan MTBS adalah kegiatan yang dilakukan perawat/bidan dalam tatalaksana balita sakit umur 2 bulan – 5 tahun dimulai dengan  anamnesa, menilai dan menentukan klasifikasi penyakit, menentukan tindakan / pengobatan atau tindak lanjut, konseling kepada ibu. Variabel ini diukur menggunakan daftar tilik pengamatan tatalaksana MTBS, dengan skala pengukuran  adalah ordinal.
Hasil pengukuran     :     
                                                        B (item yang benar)
                                      Skor     =  --------------------------   x 100%
                                                               Seluruh item
Penilaian                   :  Pelaksanaan Baik     : nilai ≥ 75
                                    Pelaksanaan Kurang : nilai < 75
2. Pengetahuan
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui oleh perawat/bidan tentang MTBS yaitu pengertian, menilai dan mengklasifikasikan penyakit termasuk menilai tanda bahaya umum, tindakan/pengobatan yang dilakukan, konseling, dan tindak lanjut. Variabel ini diukur menggunakan kuesioner, dengan skala pengukuran adalah ordinal. Penentuan nilai pengetahuan menggunakan skala Guttman yaitu untuk mendapatkan jawaban yang tegas terhadap suatu permasalahan yang ditanyakan. Penentuan nilai pengetahuan menggunakan pilihan jawaban sebagai berikut :
a.       Jika jawaban benar, diberi skor 1
b.      Jika jawaban salah, diberi skor 0
Data yang diperoleh, dikumpulkan kemudian dihitung persentase dengan menggunakan rumus :                         
                                      Jumlah jawaban yang benar x 100%
Perhitungan skor    =    --------------------------------------------
                                                 Jumlah pertanyaan

Penilaian       :     Pengetahuan baik           :     51 – 100 %
                                 Pengetahuan kurang       :     0 – 50 %
3.  Motivasi
Motivasi adalah dorongan yang timbul pada diri  perawat/bidan untuk melaksanakan MTBS. Variabel ini diukur menggunakan kuesioner, dengan skala pengukuran  adalah ordinal. Hasil pengukuran menggunakan skala likert yaitu :
Pernyataan Positif :                                               Pernyataan Negatif :
Sangat Setuju                    :  4                               Sangat Tidak Setuju    :  4
Setuju                                :  3                               Tidak Setuju                :  3
Tidak Setuju                      :  2                               Setuju                          :  2
Sangat Tidak Setuju          :  1                               Sangat Setuju              :  1
Setelah diberi bobot nilai selanjutnya dijumlahkan dan dibuat kategori dari setiap instrumen untuk kualitas jawaban dari responden berdasar nilai skor kemudian ditetapkan klasifikasi (kriteria nilai) sebagai berikut :
a.       Nilai tertinggi  15 x  4  =  60
b.      Nilai terendah  15 x  1  =  15
c.       Menentukan range, dengan cara nilai tertinggi dikurangi nilai terendah yaitu :
      60 – 15 = 45
d.      Range dibagi 2 kategori, untuk lebar interval dari kategori nilai yang akan dibuat yaitu 45 : 2 =  22,5
Berdasarkan perhitungan diatas, maka klasifikasi penilaian yaitu : 
a.  Motivasi  tinggi            :    39 - 60
b.  Motivasi  rendah          :    15 - 38    
4.  Pendidikan
Pendidikan adalah pendidikan formal tertinggi yang dimiliki responden yang didapat baik sebelum bekerja maupun setelah bekerja sebagai perawat / bidan. Variabel ini diukur menggunakan kuesioner, dengan skala pengukuran adalah ordinal. Hasil pengukuran dikategorikan menjadi 2 kategori, yaitu :
a.  Tinggi  :  DIII Keperawatan / DIII Kebidanan
b.  Sedang  : SPK / DI Kebidanan
5.  Pelatihan
Pelatihan adalah pelatihan tentang MTBS yang pernah diikuti oleh responden. Variabel ini diukur menggunakan kuesioner, dengan skala pengukuran adalah ordinal. Hasil pengukuran dikategorikan menjadi 2 kategori, yaitu :
a.  Pernah mengikuti pelatihan MTBS
      b. Tidak pernah mengikuti pelatihan MTBS
6. Pengalaman kerja
Pengalaman kerja adalah lama bekerja perawat/bidan sejak diangkat sebagai pegawai hingga pada saat penelitian dilakukan. Variabel ini diukur menggunakan kuesioner, dengan skala pengukuran adalah ordinal. Hasil pengukuran dikategorikan menjadi 2 kategori, yaitu :
a. Bekerja > 3 tahun
b. Bekerja ≤ 3 tahun               

F. Prosedur Penelitian
Melakukan perizinan untuk mengadakan penelitian di seluruh Puskesmas se-kota Banjarbaru. Instrumen berupa kuesioner disusun dengan pertanyaan tentang pengetahuan, motivasi, pendidikan, pelatihan dan pengalaman bekerja. Sebelum penelitian dilakukan uji validitas dan reliabilitas kuesioner kepada 15 orang perawat/bidan di Puskesmas wilayah kerja kabupaten Banjar yang memiliki karakteristik yang sama yaitu Puskesmas Martapura dan Pasayangan.
Melakukan wawancara terhadap perawat/bidan dengan terlebih dahulu meminta persetujuan untuk bersedia dijadikan responden. Melakukan observasi terhadap pelaksanaaan MTBS yang dilakukan perawat/bidan dengan menggunakan daftar tilik pengamatan tatalaksana balita sakit.

G. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data
Data yang dikumpulkan yaitu  data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan melalui wawancara kepada responden dengan menggunakan kuesioner. Selain itu melalui observasi dengan menggunakan daftar tilik pengamatan tata laksana MTBS. Data sekunder didapatkan melalui laporan bulanan dan laporan tahunan yang ada di Puskesmas se-kota Banjarbaru dan Dinas Kesehatan Kota Banjarbaru.
Data diolah dengan cara editing data, pengkodean dan pemasukan data. Editing dilakukan untuk memastikan bahwa data yang diperoleh telah lengkap dan tidak ada kesalahan dalam pengisian. Pengkodean data dilakukan setelah data di edit dan sebelum diolah dengan komputer. Data yang telah dikoding diolah dengan bantuan komputer. Apabila ada kesalahan data, maka dilakukan perbaikan data saat pengolahan data.

H. Cara Analisis Data
Data yang telah terkumpul kemudian dikelompokkan, ditabulasi dan dilakukan analisis data untuk melihat hubungan antara dua variabel yaitu variabel independen dan variabel dependen. Untuk membuktikan adanya hubungan diantara dua variabel tersebut digunakan uji Chi Square dengan tingkat kemaknaan 95 %.

I. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di seluruh Puskesmas se-kota Banjarbaru yaitu sebanyak 7 puskesmas pada bulan Januari sampai Februari  2010.

  
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas se-kota Banjarbaru sebanyak 7 Puskesmas yaitu Puskesmas Banjarbaru, Puskesmas Liang Anggang, Puskesmas Landasan Ulin, Puskesmas Cempaka, Puskesmas Sei Besar, Puskesmas Banjarbaru Utara dan Puskesmas Guntung Payung. Ada satu puskesmas yang baru diresmikan pada tanggal 23 Februari 2010 yaitu Puskesmas Sei ulin tidak termasuk tempat penelitian karena di puskesmas tersebut masih dalam tahap persiapan pelaksanaan kegiatan.
 Subyek penelitian semula yang diambil saat studi pendahuluan adalah seluruh jumlah perawat / bidan yang aktif di poli anak / MTBS sebanyak 35 orang. Tetapi ketika penelitian dilakukan ada 5 orang yang tidak dapat diteliti disebabkan 1 orang cuti melahirkan, 2 orang tidak aktif lagi dipoli anak dan 2 orang dipindah ke Puskesmas Sei Ulin. Ada tambahan 2 orang perawat yang bertugas di poli anak/MTBS sejak bulan Desember 2009 sehingga jumlah seluruh subyek penelitian adalah 32 orang.
A. Pelaksanaan MTBS

No
Pelaksanaan MTBS
Frekuensi
Persentase
1
Baik
10
31,3
2
Kurang
22
68,8

Jumlah
32
100

Tabel diatas menunjukkan bahwa pelaksanaan MTBS oleh perawat / bidan di Puskesmas se-kota Banjarbaru sebagian besar masih kurang  (68,8 %). Pelaksanaan MTBS terdiri dari 4 tahap yang harus dilakukan oleh perawat / bidan yaitu anamnesa, menilai dan menentukan klasifikasi penyakit, menentukan tindakan / pengobatan atau tindak lanjut, konseling kepada ibu. Berdasarkan hasil penelitian ( lihat lampiran 7 ) secara keseluruhan menunjukkan masing-masing nilai untuk tahapan pelaksanaan MTBS yaitu anamnesa (70,31 %) , penilaian dan klasifikasi  (47,39 %),  tindakan  (60,42 %),   konseling (22,5 %). Semua hasil ini apabila dibandingkan dengan standar yang ada yaitu 75, masih dibawah standar.
Azwar (19) mengemukakan bahwa untuk kepentingan umum seperti pelayanan kesehatan diperlukan tenaga, dana, sarana dan metoda. Tenaga memegang peranan paling penting untuk mencapai keberhasilan dalam pelaksanaan suatu tindakan. Kurangnya pelaksanaan MTBS oleh perawat / bidan di Puskesmas se-kota Banjarbaru diduga disebabkan beberapa hal, diantaranya dari faktor tenaga pelaksana MTBS yaitu perawat / bidan. Berdasarkan observasi di lapangan menunjukkan bahwa perawat / bidan yang bertugas dipoli anak / MTBS mempunyai beban tugas yang lain sehingga jadwal yang ada sering tidak dipatuhi. Perawat yang pernah dilatih MTBS bahkan sama sekali tidak bertugas di poli MTBS tetapi bertugas menjalankan kegiatan lain. Di beberapa puskesmas penanganan balita sakit dilakukan langsung oleh dokter sehingga tahap pelaksanaan MTBS tidak dilaksanakan oleh perawat / bidan.
 Menurut Gibson (26), kinerja seorang karyawan dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu faktor internal (dalam diri seseorang) dan eksternal. Salah satu faktor eksternal yaitu beban kerja yang terlalu banyak. Penelitian Mardijanto dan Mubasysyir (1) tentang evaluasi pelaksanaan MTBS menyimpulkan bahwa pelaksanaan MTBS telah berjalan bergantung pada petugas yang pernah dilatih.
Penyebab lain kurangnya pelaksanaan MTBS diduga disebabkan petugas saat melakukan pelayanan MTBS tidak menyertakan formulir MTBS. Namun berdasarkan observasi di lapangan didapatkan pula petugas mengisi formulir pencatatan setelah pelayanan pada semua balita sakit selesai, hal ini dilakukan dengan alasan untuk mempercepat waktu pelayanan. Formulir pencatatan MTBS, buku bagan dan KNI ( kartu nasihat Ibu ) merupakan alat bantu atau media yang sangat berguna sebagai acuan tata laksana balita sakit. Kenyataan di lapangan bahan cetakan tersebut kurang tersedia pada beberapa puskesmas.
Menurut Green (9) perilaku seseorang dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu salah satunya adalah faktor pendukung yang terwujud dalam tersedia atau tidaknya fasilitas dan sarana untuk mendukung perilakunya. Penelitian Hafizhah (27) mengemukakan bahwa salah satu variabel yang mempengaruhi terhadap kepatuhan petugas kesehatan terhadap algoritme MTBS adalah faktor sumber daya dimana faktor sumber daya kurang tersedia akan mempunyai risiko 7,2 kali untuk tidak patuh terhadap pengisian formulir algoritme MTBS.
Berdasarkan wawancara dengan pengelola MTBS di Dinas Kesehatan diketahui bahwa selama tahun 2009 evaluasi yang dilakukan Dinas Kesehatan terkait pelaksanaan MTBS sebanyak 3 kali yaitu 1 kali evaluasi pemantauan pasca pelatihan MTBS ke semua puskesmas. Evaluasi lainnya sebanyak 2 kali dilakukan tetapi tidak semua puskesmas. Berdasarkan wawancara dengan petugas puskesmas, evaluasi pelaksanaan MTBS dilakukan saat rapat bulanan tetapi hanya terbatas pada hasil dari pelaksanaan MTBS terkait dengan cakupan program. Evaluasi tersebut juga tidak rutin dilakukan setiap bulan. Supervisi khusus secara rutin belum dilakukan baik di tingkat kabupaten maupun tingkat puskesmas, terutama untuk mengevaluasi proses pelaksanaan terkait dengan kepatuhan petugas dalam melakukan tahap-tahap pelaksanaan MTBS. Menurut Notoatmodjo (9), evaluasi merupakan bagian yang penting dari proses manajemen, karena dengan evaluasi akan diperoleh umpan balik terhadap program atau pelaksanaan kegiatan. Tanpa adanya evaluasi, sulit untuk mengetahui sejauhmana tujuan-tujuan yang direncanakan itu telah berhasil atau belum.
Penelitian Hafizhah (27) mengemukakan bahwa salah satu variabel yang mempengaruhi terhadap kepatuhan petugas kesehatan terhadap algoritme MTBS adalah faktor pembinaan dimana faktor pembinaan kurang akan mempunyai risiko 12 kali untuk tidak patuh terhadap pengisian formulir algoritme MTBS. Hasil penelitian  Surjono dkk (28) menyimpulkan bahwa kualitas orientasi yang baik dengan didukung sarana dan prasarana serta proses integrasi dan monitoring evaluasi yang baik, maka akan menjamin terlaksananya program.


B. Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Pelaksanaan MTBS
1. Tingkat Pengetahuan
Distribusi frekuensi responden berdasarkan pengetahuan dapat dilihat pada tabel 5.2
Tabel 5.2   Distribusi frekuensi responden berdasarkan pengetahuan perawat / bidan di Puskesmas se-kota Banjarbaru Januari – Februari 2010

No
Pengetahuan
Frekuensi
Persentase
1
Baik
27
84,4
2
Kurang
 5
15,6

Jumlah
32
100

Pengetahuan sebagian besar responden mengenai MTBS sudah bisa dikatakan baik, ini bisa dilihat dari tabel 5.2 bahwa sebanyak 27 orang (84,375 %) responden yang pengetahuannya termasuk dalam kategori baik.
Tabel 5.3   Hubungan pengetahuan perawat/bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru Januari – Februari 2010


No


Pengetahuan
Pelaksanaan MTBS
Baik
Kurang
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
1
Baik
10
31,25
17
53,125
27
84,375
2
Kurang
0
0
5
15,625
5
15,625

Jumlah
10
31,25
22
68,75
32
100

Tabel diatas menunjukkan bahwa responden yang memiliki pengetahuan baik sebanyak 10 orang (31,25 %) melakukan pelaksanaan MTBS dengan baik dan 17 orang (53,125 %) melakukan pelaksanaan MTBS kurang. Tabel di atas tidak dapat diuji dengan chi square karena ada nilai expected < 5, karena itu dipakai uji fisher exact dengan hasil  P = 0,155 (P > ά)  artinya tidak ada hubungan antara pengetahuan perawat / bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru.
Berdasarkan teori, seharusnya pengetahuan berhubungan dengan pelaksanaan kegiatan,  semakin baik pengetahuan seseorang semakin baik pula dalam pelaksanaan kegiatan tersebut. Menurut Notoatmodjo (9), tingkat pengetahuan seseorang mempengaruhi perilaku individu, makin tinggi pengetahuan seseorang makin tinggi kesadaran untuk berperan serta. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian Mardijanto dan Mubasysyir (5) bahwa terdapat hubungan bermakna antara pengetahuan dengan penatalaksanaan pneumonia dengan MTBS. Sebaliknya pada penelitian yang dilakukan di wilayah Puskesmas se-kota Banjarbaru tidak terbukti adanya hubungan antara pengetahuan dengan pelaksanaan MTBS.
Penyebab tidak adanya hubungan antara pengetahuan perawat / bidan dengan pelaksanaan MTBS pada penelitian ini diduga karena petugas saat melakukan pelayanan pada balita sakit  tidak menyertakan formulir pencatatan MTBS sebagai bahan acuan tata laksana MTBS. Petugas melakukan tatalaksana MTBS berdasarkan ingatan dan kebiasaaan saja, sehingga pada pelaksanaan ada beberapa hal penting yang terlewatkan. Menurut Dirjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat (3), MTBS berupa proses manajemen kasus disajikan dalam suatu bagan yang berguna untuk mempermudah petugas kesehatan mengikuti setiap langkah untuk memeriksa balita sakit.  Cara penilaian bergantung pada masalah yang dikerjakan yaitu dengan mengisi format pencatatan MTBS.
Formulir MTBS merupakan logistik pencatatan yang harus ada dalam penerapan MTBS di puskesmas serta penting untuk diisi oleh setiap petugas saat melaksanakan penanganan balita sakit dengan MTBS. Melalui formulir ini tergambar pelaksanaan tahap-tahap  MTBS yang dilakukan petugas sehingga kelengkapan dalam pengisian formulir berpengaruh pada kualitas pelaksanaan MTBS itu sendiri (6). Selain hal tersebut diatas, berdasarkan observasi petugas juga jarang menggunakan Buku Bagan MTBS sebagai acuan untuk menetapkan klasifikasi, tindakan dan konseling. Petugas tidak pernah menggunakan KNI (Kartu Nasihat Ibu) saat melakukan konseling. Di beberapa puskesmas masih terdapat kurangnya ketersediaan formulir MTBS, KNI serta tidak diletakkannya buku bagan  di ruang MTBS.
Formulir pencatatan MTBS, KNI dan  buku bagan merupakan alat bantu atau media yang diperlukan dalam melakukan tata laksana MTBS. Menurut Notoatmodjo (9), salah satu kegunaan alat bantu atau media adalah membantu menegakkan pengetahuan yang diperoleh, lebih mempermudah penyampaian dan penerimaan informasi. Selain itu, alat bantu atau media juga akan membantu dalam melakukan pelayanan kesehatan menjadi lebih baik dan penyampaian pesan lebih jelas.
2. Motivasi
Distribusi frekuensi responden berdasarkan motivasi untuk melaksanakan MTBS dapat dilihat pada tabel 5.4
Tabel 5.4   Distribusi frekuensi responden berdasarkan motivasi  perawat / bidan di Puskesmas se-kota Banjarbaru Januari – Februari 2010

No
Motivasi
Frekuensi
Persentase
1
Tinggi
31
96,9
2
Rendah
1
3,1

Jumlah
32
100

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan hampir semua responden mempunyai motivasi tinggi yaitu sebanyak 31 orang (96,9 %)




Tabel 5.5   Hubungan motivasi perawat/bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru  Januari – Februari 2010


No


Motivasi
Pelaksanaan MTBS
Baik
Kurang
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
1
Tinggi
9
28,125
22
68,75
31
96,875
2
Rendah
2
3,125
0
0
1
3,125

Jumlah
10
31,25
22
68,75
32
100

Tabel di atas tidak dapat diuji dengan chi square karena ada nilai expected < 5, karena itu dipakai uji fisher exact dengan hasil  P = 0,313  (P > ά)  artinya tidak ada hubungan antara motivasi perawat / bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru. Motivasi pada hampir seluruh responden tinggi (96,875 %), tetapi hanya 28,125 % saja yang pelaksanaan MTBSnya baik. Seharusnya apabila motivasi tinggi maka pelaksanaan juga baik.
Tidak adanya hubungan antara motivasi perawat / bidan dengan pelaksanaan MTBS diduga petugas  mempunyai tugas rangkap sehingga saat jadwal bertugas di poli anak/MTBS tidak dipatuhi. Tugas rangkap adalah pekerjaan yang menjadi tanggung jawab responden di puskesmas selain sebagai petugas MTBS antara lain petugas pustu, pengelola program Tb paru, surveilance, petugas poli umum (dewasa), poli KIA, mengikuti kegiatan luar gedung seperti pusling, posyandu, bendahara, dan lain-lain. Menurut Russel (29)  kondisi kerja yang mempunyai beban kerja semakin meningkat merupakan suatu kondisi yang dapat meningkatkan kesalahan dalam bekerja dan akan berdampak pada penurunan kualitas pelayanan yang diberikan kepada klien.
Berdasarkan observasi, petugas lebih cenderung melakukan tugas yang seperti tersebut di atas daripada mengerjakan MTBS karena MTBS bukan sebagai program hanya merupakan suatu proses manajemen penanganan balita sakit yang digunakan di pelayanan kesehatan dasar. Sementara tugas lain yang menjadi tanggung jawab petugas sebagian besar merupakan kegiatan program di puskesmas sehingga dianggap lebih penting untuk dilaksanakan terlebih dulu. Selain itu, tidak ada reward atau insentif khusus bagi petugas MTBS.
Motivasi merupakan pendorong seseorang untuk bekerja, dipengaruhi faktor internal dan eksternal. Motivasi eksternal merupakan pengaruh dari orang lain atau lingkungan. seperti jenis pekerjaan dan sifatnya, situasi lingkungan tempat bekerja, insentif dan dorongan/bimbingan atasan (20). Teori hierarki Maslow menjelaskan bahwa kebutuhan kita digambarkan menjadi lima kategori sebagai pendorong motivasi kerja.  Salah satunya adalah kebutuhan penghargaan diri yaitu respek dan pujian atas keberhasilan dan merasa dirinya berharga. Bentuk pemenuhan ini berupa penghargaan, bonus dan  insentif (21).
Insentif tidak selalu harus berwujud uang, tetapi bisa berupa penghargaan dan pujian atas prestasi kerja, promosi, pemberian perlengkapan khusus yang dibutuhkan ruang kerjanya, keadaan pekerjaan yang memuaskan, sikap pimpinan (8). Model hubungan manusia juga menjelaskan bahwa para karyawan dimotivasi oleh banyak faktor tidak hanya uang, tetapi juga kebutuhan untuk berprestasi dan memperoleh pekerjaan yang berarti. Para karyawan lebih menyukai pemenuhan kepuasan dari suatu prestasi kerja yang baik sehingga dapat diberi tanggung jawab yang lebih besar untuk pembuatan keputusan dan pelaksanaan tugas (30).
Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Suardiana (31) yang menunjukkan tidak adanya hubungan secara bermakna antara motivasi dengan kinerja petugas kesehatan dalam diagnosa pneumonia balita.
3. Pendidikan
Tabel 5.6   Distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan perawat / bidan di Puskesmas se-kota Banjarbaru  Januari – Februari 2010

No
Pendidikan
Frekuensi
Persentase
1
Tinggi
14
43,8
2
Sedang
18
56,3

Jumlah
32
100


Tabel 5.7   Hubungan pendidikan perawat/bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru Januari – Februari 2010


No


Pendidikan
Pelaksanaan MTBS
Baik
Kurang
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
1
Tinggi
4
12,5
10
31,25
14
43,75
2
Sedang
6
18,75
12
37,5
18
56,25

Jumlah
10
31,25
22
68,75
32
100

Tabel di atas tidak dapat diuji dengan chi square karena ada nilai expected < 5, karena itu dipakai uji fisher exact dengan hasil  P = 0,1  (P > ά)  artinya tidak ada hubungan antara pendidikan perawat / bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru. Tidak adanya hubungan ini berarti tingkat pendidikan tidak selalu menentukan baik tidaknya pelaksanaan MTBS. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun dengan tingkat pendidikan yang sedang (SPK/D1 Kebidanan) ternyata responden dapat melakukan pelaksanaan dengan baik. Ini dikarenakan sebagian besar responden sudah memperoleh pelatihan MTBS dan mempunyai masa kerja yang lama.
Tingkat pendidikan tidak terbukti berpengaruh terhadap pelaksanaan MTBS disebabkan tingkat pendidikan seseorang merupakan landasan daya tangkap dan daya pengertian terhadap suatu hal setelah menerima informasi tertentu. Jadi jika tidak ada informasi baru yang diterima maka tidak ada pula yang hendak dimengerti atau dianalisa (32). Hasil penelitian Sujono  dan Hari  (33) menunjukkan tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan perawat dengan kinerja perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan pada klien
4. Pelatihan
Tabel 5.8   Distribusi frekuensi responden berdasarkan pelatihan  perawat / bidan di Puskesmas se-kota Banjarbaru Januari – Februari 2010

No
Pelatihan
Frekuensi
Persentase
1
Pernah
21
65.6
2
Tidak pernah
11
34.4

Jumlah
32
100

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan sebagian besar responden telah mengikuti pelatihan MTBS yaitu sebanyak 21 orang (65,6 %)
Tabel 5.9   Hubungan pelatihan perawat / bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru


No


Pelatihan
Pelaksanaan MTBS
Baik
Kurang
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
1
Pernah
8
25
13
40,625
21
65,6
2
Tidak pernah
2
6,25
9
28,125
11
34,4

Jumlah
10
31,25
22
68,75
32
100

Tabel di atas tidak dapat diuji dengan chi square karena ada nilai expected < 5, karena itu dipakai uji fisher exact dengan hasil  P = 0,425  (P > ά)  artinya tidak ada hubungan antara pelatihan perawat / bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru. Namun dapat dilihat pada tabel jumlah responden yang pernah dilatih sebanyak 8 orang (25%) menunjukkan pelaksanaan MTBS  baik, sedangkan tidak pernah dilatih sebanyak 2 orang (6,25%). Berdasarkan tabel pada kolom pelaksanaan dengan kategori baik, memperlihatkan bahwa petugas yang pernah pelatihan MTBS lebih banyak melaksanakan MTBS dengan baik. Petugas yang belum pernah dilatih, mereka dapat belajar dari petugas yang sudah dilatih dan dengan latihan dan rutinitas yang dilakukan setiap hari maka tata laksana MTBS dapat dikerjakan oleh petugas tersebut dengan baik.
Tidak adanya hubungan antara pelatihan perawat / bidan dengan pelaksanaan MTBS diduga disebabkan pada beberapa puskesmas pelayanan pada balita sakit  lebih banyak ditangani langsung oleh dokter sehingga sebagian bahkan semua tahap-tahap pada pelaksanaan MTBS seperti anamnesa, penilaian dan klasifikasi, tindakan dan konseling tidak dilaksanakan oleh perawat/bidan.
Semua tenaga kesehatan perlu terus menerus belajar. Pengetahuan dan pemahaman yang diperoleh saat pelatihan ditingkatkan dengan mempraktekkan ketrampilan yang didapat dan dikembangkan dengan praktek berulang sampai tingkat kinerja yang dibutuhkan tercapai (34). Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Suardiana (31) yang menunjukkan tidak adanya hubungan secara bermakna antara pelatihan dengan kinerja petugas kesehatan dalam diagnosa pneumonia balita.


5. Pengalaman Kerja
Tabel 5.10 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pengalaman kerja perawat / bidan di Puskesmas se-kota Banjarbaru  Januari – Februari 2010

No
Pengalaman Kerja
Frekuensi
Persentase
1
> 3 tahun
25
78,1
2
≤ 3 tahun
7
21,9

Jumlah
32
100

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan sebagian besar responden mempunyai pengalaman kerja lebih  dari 3 tahun sebanyak 25 orang (78,1%)
Tabel 5.11 Hubungan pengalaman kerja perawat/bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru  Januari – Februari 2010


No


Pengalaman Kerja
Pelaksanaan MTBS
Baik
Kurang
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
1
> 3 tahun
9
28,125
16
50
25
78,125
2
≤ 3 tahun
1
3,125
6
28,125
7
21,875

Jumlah
10
31,25
22
68,75
32
100

Tabel di atas tidak dapat diuji dengan chi square karena ada nilai expected < 5, karena itu dipakai uji fisher exact dengan hasil  P = 0,387  (P > ά)  artinya tidak ada hubungan antara pengalaman kerja perawat / bidan dengan pelaksanaan MTBS di puskesmas se-kota Banjarbaru. Namun dapat dilihat pada tabel jumlah responden yang pengalaman kerjanya > 3 tahun sebanyak 9 orang (28,125 %) menunjukkan pelaksanaan MTBS  baik, sedangkan responden yang pengalaman kerjanya ≤ 3 tahun sebanyak 1 orang (3,125%). Bagi petugas yang memiliki pengalaman kerja ≤ 3 tahun dengan pelaksanaan MTBS kategori kurang mereka dapat belajar dari petugas yang sudah berpengalaman. Dengan latihan dan rutinitas yang dilakukan setiap hari maka tata laksana MTBS  dapat dikerjakan oleh petugas tersebut dengan baik.
Hasil penelitian menunjukkan responden yang masa kerjanya > 3 tahun pelaksanaan kurang (50%) diduga terjadi disebabkan kejenuhan dalam bekerja mulai dirasakan karena berada pada lingkungan yang sama dan dalam jangka waktu yang lama. Menurut Notoatmodjo (34), kondisi dapat menumpuk dan berpengaruh terhadap pelayanan yang diberikan. Kejenuhan merupakan sumber frustasi mendasar bagi karyawan, stagnasi tugas dapat mengecewakan karena tanggung jawab yang tidak berubah tidak memberikan tantangan bagi karyawan. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Suardiana (31) yang menunjukkan tidak adanya hubungan secara bermakna antara pengalaman kerja dengan kinerja petugas kesehatan dalam diagnosa pneumonia balita.
Penelitian ini masih terdapat kekurangan dan keterbatasan seperti pada pengamatan pelaksanaan MTBS terutama tahap penilaian dan klasifikasi, peneliti melakukan pengamatan secara umum saja. Ada 4 keluhan utama yang harus ditanyakan dan dinilai yaitu batuk dan atau sukar bernafas, diare, demam dan masalah telinga. Apabila satu pasien yang datang tidak  menderita empat keluhan tersebut maka penilaian difokuskan pada kepatuhan petugas dalam menanyakan adanya keempat keluhan tersebut. Apabila keluhan tidak ada tetapi ditanyakan maka penilaian menjadi 100. Sementara itu pengamatan hanya dilakukan satu kali untuk setiap responden.


BAB VI
PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian pelaksanaan MTBS oleh perawat/bidan di Puskesmas se-kota Banjarbaru periode Januari-Februari 2010 maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru tergolong kategori  kurang ( 68,8% ), tingkat pengetahuan perawat/bidan mengenai MTBS tergolong kategori pengetahuan baik ( 84,4 % ), motivasi perawat/bidan untuk melaksanakan MTBS tergolong motivasi tinggi ( 96,9 % ), pendidikan perawat/bidan  tergolong pendidikan sedang ( 56,3 % ), pelatihan perawat / bidan tergolong pernah pelatihan ( 65,6 % ), pengalaman kerja perawat / bidan tergolong masa kerja > 3 tahun  (  78,1 % ).
2.      Tidak ada hubungan pengetahuan perawat/bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru.
3.      Tidak ada hubungan motivasi perawat/bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru
4.      Tidak ada hubungan pendidikan perawat/bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru
5.     
41
 
Tidak ada hubungan pelatihan perawat/bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru
6.      Tidak ada hubungan pengalaman kerja perawat/bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru

B. Saran
  1. Bagi Dinas Kesehatan kota Banjarbaru diharapkan perlu mengadakan refresing MTBS bagi perawat/bidan guna meningkatkan kualitas pelaksanaan MTBS dan mengadakan supervisi ke puskesmas secara berkala untuk memantau pelaksanaan MTBS baik terhadap kepatuhan petugas terhadap protap maupun pemantauan program.
  2. Bagi pimpinan puskesmas diharapkan dapat mengaktifkan kembali petugas yang pernah dilatih MTBS supaya ilmu yang didapat tidak hilang begitu saja dan meningkatkan pengadaan bahan cetakan seperti formulir MTBS, KNI serta melakukan evaluasi tingkat puskesmas secara rutin.
  3. Bagi petugas MTBS diharapkan dapat mematuhi protap yang ada dalam pelaksanaan MTBS guna meningkatkan kualitas penanganan balita sakit.
Hasil penelitian ini tidak terbukti adanya hubungan antara pengetahuan, motivasi, pendidikan, pelatihan dan pengalaman kerja perawat/bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas maka perlu penelitian lebih lanjut untuk memperdalam faktor yang berhubungan dengan pelaksanaan MTBS ditinjau faktor lain seperti sarana dan prasarana, dukungan manajemen, tugas rangkap. Selain itu dapat pula dikembangkan untuk penelitian yang akan datang mengenai pelaksanaan MTBS difokuskan untuk penilaian pada satu penyakit saja supaya benar-benar tergambar tingkat keterampilan petugas dalam tata laksana penyakit tersebut.



1 komentar: