PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendekatan program perawatan
balita sakit yang dipakai selama ini adalah program intervensi secara terpisah
untuk masing-masing penyakit, sehingga menimbulkan masalah kehilangan peluang
dan putus pengobatan pada pasien. WHO dan UNICEF pada tahun 1994 mengembangkan
suatu paket yang memadukan pelayanan terhadap balita sakit dalam satu paket
tunggal yang disebut Integrated
Management of Childhood Illness (IMCI) untuk mengatasinya. Tahun 1997 IMCI atau
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) mulai dikembangkan di Indonesia (1).
Manajemen Terpadu Balita Sakit merupakan
suatu pendekatan terhadap balita sakit yang dilakukan secara terpadu dengan
memadukan pelayanan promosi, pencegahan, serta pengobatan terhadap lima penyakit
penyebab utama kematian pada bayi dan balita di negara berkembang, yaitu
pnemonia, diare, campak, dan malaria serta malnutrisi. MTBS digunakan sebagai
standar pelayanan bayi dan balita sakit sekaligus sebagai pedoman bagi tenaga
kesehatan khususnya perawat dan bidan di fasilitas pelayanan kesehatan dasar
(2,3).
|
Berdasarkan survey pendahuluan, pelayanan
MTBS di puskesmas dilakukan oleh bidan dan perawat sedangkan dokter menerima
konsul dan rujukan. Evaluasi dilakukan setiap tahun oleh Dinas Kesehatan untuk
mengetahui kendala atau permasalahan yang timbul selama pelaksanaan MTBS. Hasil
evaluasi terakhir bulan Mei 2009 pada 7 Puskesmas menunjukkan bahwa tingkat
keterampilan petugas mencapai nilai
rata-rata 75,39 . Sementara itu tingkat
kepatuhan petugas MTBS baru mencapai nilai 39,28. Standar nilai minimal
yang dijadikan acuan oleh Depkes RI adalah 75 untuk kedua hal tersebut. Dengan
demikian maka dapat disimpulkan bahwa tingkat kepatuhan petugas MTBS belum
mencapai nilai minimal Depkes.. Selain itu juga terdapat permasalahan yang dihadapi pada beberapa
puskesmas yaitu jadwal MTBS yang telah dibuat tidak dipatuhi, tidak semua anak
sakit dilakukan pemeriksaan secara MTBS (4).
Menurut Mardijanto dan Mubasysyir (1,5) pelaksanaan MTBS yang telah
berjalan bergantung pada petugas yang sudah pernah dilatih. Variabel
pengetahuan, motivasi dan keterampilan petugas menunjukkan hubungan bermakna
terhadap penatalaksanaan pneumonia dengan
MTBS. Penelitian Pratono, dkk (6) mengenai evaluasi MTBS menunjukkan bahwa
lemahnya pengetahuan dan ketrampilan petugas dalam mengerjakan MTBS merupakan hal yang menghambat praktik MTBS
berjalan.
Pelaksanaan MTBS dilakukan dengan cara
menilai, membuat klasifikasi penyakit, menentukan tindakan/pengobatan atau
tindak lanjut dan konseling. Kegiatan ini memerlukan kemampuan atau prestasi
kerja yang baik dari petugas yang melaksanakannya (1). Prestasi kerja seseorang
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor baik dari dalam diri seperti pengetahuan, sikap, motivasi, pendidikan, lama
bekerja. Faktor dari luar seperti insentif dan pelatihan (8)
Menurut Notoatmodjo (9), tingkat pengetahuan
seseorang mempengaruhi perilaku individu, makin tinggi pengetahuan seseorang
makin tinggi kesadaran untuk berperan serta. Motivasi merupakan dorongan kerja
yang timbul pada diri seseorang untuk berperilaku dalam mencapai tujuan yang
telah ditentukan (10). Faktor pendidikan sering memegang syarat paling pokok
untuk memegang fungsi tertentu dalam bekerja. Sementara jenis pelatihan yang
pernah diikuti seseorang yang berhubungan dengan bidang kerjanya akan dapat
mempengaruhi ketrampilan, dan meningkatkan kepercayaan pada kemampuan dirinya
(11). Masa kerja berhubungan erat dengan pengalaman yang didapat dalam
menjalankan tugas seseorang. Orang yang berpengalaman dipandang lebih mampu
dalam melaksanakan tugas (9).
Mengingat petugas kesehatan yang melaksanakan
tatalaksana MTBS adalah perawat dan bidan maka diharapkan pelayanan promotif dan
preventif lebih optimal dibandingkan kuratif. Diperlukan petugas yang
berwawasan dan memiliki keterampilan dalam melaksanakannya (7). Berdasarkan
uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai faktor - faktor yang berhubungan dengan pelaksanaan MTBS
di Puskesmas se-kota Banjarbaru, ditinjau dari segi pengetahuan, motivasi,
pendidikan, pelatihan dan pengalaman kerja perawat / bidan.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah
bagaimana hubungan faktor-faktor pada perawat/bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas
se-kota Banjarbaru periode bulan Januari
– Februari 2010 ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk
menganalisis hubungan faktor –faktor pada perawat/bidan dengan pelaksanaan MTBS
di Puskesmas se-kota Banjarbaru periode bulan Januari – Februari 2010.
Tujuan khusus penelitian ini adalah :
a. Mengidentifikasi pelaksanaan MTBS,
pengetahuan, motivasi, pendidikan, pelatihan dan pengalaman kerja perawat/bidan
di Puskesmas se-kota Banjarbaru.
b. Menganalisis hubungan pengetahuan
perawat/bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru.
c. Menganalisis hubungan motivasi
perawat/bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru
d. Menganalisis hubungan pendidikan
perawat/bidan dengan pelaksanaan MTBS di puskesmas se-kota Banjarbaru.
e. Menganalisis hubungan pelatihan
perawat/bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru
f. Menganalisis hubungan pengalaman kerja
perawat/bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberi masukan atau informasi mengenai faktor - faktor pada petugas kesehatan
( perawat / bidan ) yang berhubungan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas
sehingga dapat digunakan untuk peningkatan kegiatan pelaksanaan MTBS terutama
peningkatan kinerja petugas kesehatan khususnya perawat/bidan di Puskesmas
se-kota Banjarbaru.
|
TINJAUAN PUSTAKA
A. Manajemen Terpadu Balita Sakit (
MTBS )
1. Pengertian
Manajemen
Terpadu Balita Sakit merupakan suatu pendekatan keterpaduan dalam tatalaksana
bayi dan balita sakit yang datang berobat kefasilitas rawat jalan dipelayanan
kesehatan dasar. MTBS mencakup upaya perbaikan manajemen penatalaksanaan
terhadap penyakit seperti pneumonia, diare, campak, malaria, infeksi telinga,
malnutrisi serta upaya peningkatan pelayanan kesehatan, pencegahan penyakit
seperti imunisasi, vitamin A dan konseling pemberian ASI atau makan (3).
2. Pelaksanaan MTBS
Pelaksanaan
MTBS berupa proses manajemen kasus yang
menangani balita sakit atau bayi muda difasilitas pelayanan kesehatan dasar
seperti puskesmas, puskesmas pembantu maupun melalui kunjungan rumah. Proses
manajemen kasus ini disajikan dalam suatu bagan yang memperlihatkan urutan
langkah-langkah dan penjelasan cara pelaksanaannya, sehingga petugas dapat
menggunakan bagan ini sebagai acuan dalam melaksanakan MTBS (3).
Bagan tersebut menjelaskan langkah-langkah
pelaksanaan MTBS berikut ini :
|
b. Menentukan tindakan dan memberi pengobatan. Hal ini berarti menentukan tindakan dan memberi pengobatan di fasilitas
kesehatan sesuai dengan setiap klasifikasi, memberi obat untuk diminum di rumah
dan juga mengajari ibu tentang cara memberikan obat serta tindakan lain yang
harus dilakukan dirumah. Pengobatan anak sakit dapat dimulai di klinik dan
diteruskan di rumah. Anak yang sakit berat perlu dirujuk ke rumah sakit untuk
perawatan lebih lanjut, dalam hal ini perlu dilakukan tindakan pra rujukan.
Pada langkah ini petugas dapat melakukan (13) : 1) menentukan perlunya
dilakukan rujukan segera, 2) menentukan tindakan dan pengobatan pra rujukan, 3)
merujuk anak, menjelaskan perlunya rujukan,
4) menentukan tindakan dan pengobatan untuk anak yang tidak memerlukan
rujukan, 5) memilih obat yang sesuai dan menentukan dosis dan jadwal pemberian,
6) memberi imunisasi setiap anak sakit sesuai kebutuhan, 7) memberi suplemen
vitamin A, 8) menentukan waktu untuk
kunjungan ulang.
c. Memberi konseling bagi ibu. Kegiatan ini termasuk menilai cara
pemberian makan anak, memberi anjuran pemberian makan yang baik untuk anak
serta kapan harus membawa anaknya kembali kefasilitas kesehatan.Pada pemberian
konseling pada ibu, petugas dapat melakukan (14) : 1) menggunakan keterampilan
komunikasi yang baik, 2) mengajari ibu cara memberikan obat oral di rumah, 3)
mengajari ibu cara mengobati infeksi lokal dirumah, 4) mengajari ibu cara
pemberian cairan dirumah, 5) melakukan penilaian pemberian ASI dan makanan
anak, 6) menentukan masalah pemberian ASI dan makanan anak, 7) konseling bagi
ibu tentang masalah pemberian ASI dan makanan, 8) menasihati ibu tentang :
kapan kembali kunjungan ulang, kapan kembali segera untuk perawatan lebih
lanjut, kapan kembali untuk imunisasi dan pemberian vitamin A, kesehatannya
sendiri, 9) menentukan prioritas nasihat.
d. Manajemen Terpadu Bayi
Muda kurang dari 2 bulan. Meliputi : menilai dan membuat klasifikasi,menentukan tindakan dan memberi
pengobatan, konseling dan tindak lanjut pada bayi umur kurang dari 2 bulan baik
sehat maupun sakit. Pada prinsipnya, proses manajemen kasus pada bayi muda
kurang dari 2 bulan tidak berbeda dengan anak sakit umur 2 bulan sampai 5 tahun
(3).
e. Memberi pelayanan tindak lanjut. Hal ini berarti menentukan tindakan dan
pengobatan saat anak datang untuk kunjungan ulang. Sebagian anak sakit perlu
datang lagi ke petugas kesehatan untuk pelayanan tindak lanjut. Ibu telah
diberitahu kapan harus kembali untuk kunjungan ulang sesuai dengan klasifikasi
penyakit. Adapun langkah-langkah untuk menangani kunjungan ulang adalah (15) :
1) menentukan apakah kunjungan anak merupakan kunjungan ulang, 2) jika
merupakan kunjungan ulang, menilai tanda-tanda yang sesuai dengan petunjuk
dalam kotak tindak lanjut untuk klasifikasi selanjutnya, 3) memilih tindakan
dan pengobatan berdasarkan tanda-tanda yang ada pada anak saat kunjungan
ulang, 4) jika anak mempunyai
masalah baru, menilai dan mengklasifikasikan anak seperti pada kunjungan
pertama.
3. Sarana dan prasarana dalam pelaksanaan MTBS
Penanganan
balita sakit yang datang ke puskesmas tentunya memerlukan sarana dan prasarana,
tidak terkecuali bila penanganannya dengan metode MTBS. Sarana dan prasarana
sudah di atur sedemikian rupa sehingga menjadi standar untuk pengadaan barang
yang diperlukan. Sebenarnya tidak banyak peralatan dan obat-obatan yang
diperlukan untuk terlaksananya MTBS. Peralatan yang diperlukan antara lain
timer untuk menghitung nafas, kalaupun tidak ada bisa memakai arloji dengan jarum
detik, termometer, timbangan badan, tensi atau manset anak. Obat-obatan yang
digunakan dalam penanganan balita sakit adalah obat yang sudah lazim ada. Bahan
cetakan juga diperlukan dalam pelaksanaan MTBS, meliputi formulir MTBS, Kartu
Nasehat Ibu (KNI), buku bagan (1,6,16).
Menurut
penelitian Mieke (17) bahwa diperlukan perbaikan kondisi dukungan fasilitas di
puskesmas pelaksana MTBS untuk meningkatkan respon ibu balita sakit dalam
mencari pengobatan yang benar atau saat tepat balita sakit memerlukan pengobatan.
4. Dukungan manajemen
Dukungan
manajemen dari Dinas kesehatan terhadap pelaksanaan MTBS sangat penting,
terutama dalam penyediaan sarana dan prasarana seperti obat-obatan, peralatan,
bahan cetakan. Dinkes juga berperan besar dalam pengadaan pelatihan MTBS bagi
petugas. Supervisi dari Dinkes sangat diperlukan untuk kemajuan program,
mengatasi kesulitan di lapangan, membangkitkan motivasi serta merangsang
petugas untuk bekerja lebih baik lagi (6).
Kepala
puskesmas sebagai pemimpin atau manajer sangat besar pengaruhnya bagi
pelaksanaan MTBS di puskesmas. Kepala puskesmas yang mampu menjalankan perannya
sebagai pemimpin dan manajer akan mampu membuat tim MTBS yang berdaya guna
melalui pembentukan hubungan kerjasama yang kuat di antara staf sehingga menciptakan
komitmen yang kuat untuk memberikan waktu dan kemampuannya. Kemampuan manajemen
yang baik membantu membangun dan menjaga kelangsungan praktik MTBS (6).
Penelitian Getruida (18) menjelaskan bahwa puskesmas yang kualitas pelayanannya
baik (sesuai standar MTBS) memiliki angka kesembuhan yang lebih tinggi pada
anak balita dibandingkan dengan puskesmas yang kualitas pelayanannya tidak
standar MTBS.
5. Petugas pelaksana MTBS
Pelaksanaan
MTBS dilakukan oleh petugas kesehatan yang telah dilatih antara lain dokter,
perawat dan bidan. Petugas yang aktif melaksanakan kegiatan di puskesmas adalah
perawat dan bidan. Sementara dokter menerima konsul dari petugas MTBS dan
melakukan rujukan ke rumah sakit. Keterkaitan peran dan tanggung jawab antar
petugas puskesmas sangat erat. Oleh karena itu seluruh petugas kesehatan di
puskesmas perlu memahami MTBS dan perannya untuk memperlancar penerapan
MTBS. Hal tersebut diatas terkait dengan
alur pelayanan yang disesuaikan dengan penerapan MTBS (13,16).
Pemeriksaan
balita sakit di puskesmas ditangani oleh tim yang dipimpin oleh pengelola MTBS
yang berfungsi sebagai case manager
yang berfungsi sebagai pemeriksa sekaligus pemberi tindakan dan konseling serta
melibatkan anggota lain seperti juru imunisasi, petugas gizi dan petugas
kesling. Petugas MTBS mengirim pasien ke petugas yang dibutuhkan apabila
diperlukan konseling yang berkaitan dengan salah satunya. Sementara petugas
apotik bertugas dalam pemberian obat dan
memberikan konseling walaupun konseling mengenai cara pemberian obat, dosis,
lama pemberian obat sudah dilakukan petugas MTBS (6,16).
B. Faktor yang Berhubungan dengan Petugas Kesehatan dalam Pelaksanaan MTBS
Azwar (19)
mengemukakan bahwa untuk kepentingan umum seperti pelayanan kesehatan
diperlukan tenaga, dana, sarana dan metoda. Tenaga memegang peranan paling
penting untuk mencapai keberhasilan dalam pelaksanaan suatu tindakan. Begitu
pula dengan pelaksanaan MTBS memerlukan kemampuan atau prestasi kerja yang baik
dari petugas yang melaksanakannya (1). Secara umum prestasi kerja seseorang
dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri sendiri maupun dari luar (8)
1. Faktor dari dalam diri (internal)
a.
Pengetahuan. Merupakan
hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap
suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni
indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Pengetahuan atau
kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan
seseorang (overt behavior) (9).
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan,
yaitu (9) : 1) tahu (know), diartikan
sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk
kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari
atau rangsangan yang telah diterima, 2) memahami (comprehension), diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan
secara benar tentang objek yag diketahui, dan dapat menginterpretasikan
materi tersebut secara
benar, 3) aplikasi
(aplication), diartikan
sebagai
kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau
kondisi sebenarnya, 4) analisis (analysis),
adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan
materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam satu
struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain, 5) sintesis (synthesis), menunjuk kepada suatu
kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu
bentuk keseluruhan yang baru, 6) evaluasi (evaluation),
berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap
suatu materi atau objek. Penilaian didasarkan pada suatu kriteria yang telah
ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria yang telah ada.
b. Sikap (Attitude).
Merupakan reaksi atau
respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek.
Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan
predisposisi tindakan suatu perilaku (9). Komponen pokok sikap (9) : 1) kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep
terhadap suatu objek, 2) kehidupan
emosional atau evaluasi terhadap suatu objek, 3) kecenderungan untuk bertindak (trend to behave).
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai
tingkatan,yaitu (9) : 1) menerima (receiving)
diartikan bahwa orang (subjek) mau dan
memperhatikan stimulus yang diberikan (objek), 2) merespon (responding) yaitu memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan,
dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap, 3)
menghargai (valuing) yaitu mengajak
orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu
indikasi sikap tingkat tiga, 4)
bertanggung jawab (responsible)
berarti bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan
segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
c. Motivasi. Motivasi berasal dari perkataan motif (motive) yaitu sesuatu yang merupakan
alasan mengapa seseorang bertindak. Motivasi adalah suatu set atau kumpulan
perilaku yang memberikan landasan bagi seseorang untuk bertindak dalam suatu
cara yang diarahkan kepada tujuan spesifik tertentu. Motivasi juga dapat
didefinisikan sebagai semangat atau dorongan, terhadap seseorang untuk
melakukan serangkaian kegiatan dengan bekerja keras dan cerdas, demi mencapai
tujuan tertentu (20,21).
Menurut Maslow (teori hierarki), pada hakikatnya manusia selalu mempunyai
keinginan untuk memenuhi kebutuhannya. Setelah kebutuhan dasar dipenuhi,
kebutuhan yang berada diatasnya merupakan kebutuhan dominan yang ingin
dipenuhi. Kebutuhan kita digambarkan menjadi lima kategori yang potensial
sebagai pendorong motivasi kerja, yaitu kebutuhan dasar fisiologis, rasa aman.
kebutuhan bersosialisasi, kebutuhan ego / penghargaan, dan kebutuhan
beraktualisasi diri (20).
Seorang ahli perilaku Douglas
McGregor menyampaikan dua konsep tentang manusia, yang disebutnya teori X
dan Y, yang dapat digunakan sebagai bahan rujukan untuk mengambil tindakan yang
dibutuhkan. Teori X melihat manusia secara pesimistik, dimana manusia pada
dasarnya hanya mau bekerja keras bila ia diawasi dan dikontrol dengan ketat.
Sedangkan teori Y mempunyai pandangan yang positif terhadap manusia, yaitu
manusia senang bekerja dan ingin menunjukkan prestasi kerja yang tinggi (21).
Teori dua faktor dari Herzberg,
mengemukakan ada sejumlah faktor yang berhubungan dengan kepuasan kerja (faktor
motivasi) dan faktor yang menyebabkan ketidakpuasan (dissatisfaction) dikenal juga faktor hygiene atau maintenance. Faktor-faktor ini erat
hubungannya dengn kebutuhan akan penghargaan dan pengembangan diri. Faktor
motivasi dijadikan sebagai faktor yang dapat meningkatkan kinerja personel
(20,21)
d. Pendidikan. Menurut UU Nomor 2 tahun 1989, Pendidikan adalah
usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya dimasa yang akan datang (22).
Tingkat pendidikan merupakan salah satu unsur karakteristik seseorang. Tingkat
pendidikan formal menunjukkan intelektual atau tingkat pengetahuan seseorang.
Hal ini dapat dipahami dengan pendidikan yang lebih banyak untuk mendapat
informasi dan ia akan lebih terlatih untuk mengolah, memahami, mengevaluasi,
mengingat kemudian menjadi pengetahuan yang dimiliknya (11).
Menurut Siagian (23) menyatakan bahwa pendidikan
bukan hanya memberikan pengetahuan saja secara langsung dengan pelaksanaan
tugas akan tetapi merupakan sarana untuk mengembangkan diri serta kemampuan
memanfaat semua sarana yang ada untuk kelancaran pelaksanaan tugas dalam rangka
memenuhi fungsi-fungsi manajemennya. Penelitian Halimudin (24) menyatakan bahwa
tingkat pendidikan berhubungan dengan kualitas penatalaksanaan pneumonia.
e. Pengalaman Kerja. Masa kerja berhubungan erat dengan
pengalaman-pengalaman yang didapat dalam menjalankan tugas mereka yang berpengalaman
dipandang lebih mampu dalam melaksanakan tugas, makin lama masa kerja seseorang
maka kecakapan mereka akan lebih baik, karena sudah menyesuaikan diri dengan
pekerjaannya (9). Menurut penelitian
Halimudin (24) menyatakan bahwa pengalaman kerja mempunyai hubungan yang bermakna dengan
kualitas penatalaksanaan pneumonia.
2. Faktor dari luar diri (eksternal)
a. Insentif. Merupakan perangsang atau pendorong yang
diberikan dengan sengaja kepada pekerjaan agar timbul semangat yang lebih besar
untuk berprestasi. Insentif yang diterima akan berhubungan langsung dengan
kebutuhan pokok karyawan seperti kebutuhan ekonomi untuk masa sekarang maupun
akan datang. Kebutuhan yang relatif terpenuhi akan menyebabkan lebih dapat
berkonsentrasi terhadap pekerjaan (25)
b. Pelatihan. Merupakan suatu proses dimana peserta pelatihan
mengalami perubahan keterampilan, pengetahuan dan kemampuan untuk dapat
memenuhi standar tertentu sesuai dengan tujuan perusahaan dan tujuan individu
yang bersangkutan. Pelatihan dimaksudkan untuk menutupi kesenjangan antara
kemampuan tenaga petugas dengan tuntutan tugasnya dan untuk mencapai sasaran
yang telah ditetapkan (26).
Jenis
pelatihan yang pernah diikuti seseorang yang berhubungan dengan bidang kerjanya
akan dapat mempengaruhi keterampilan dan sikap mentalnya serta meningkat
kepercayaan pada kemampuan dirinya, hal ini tentu akan berpengaruh positif
tehadap kerja dari karyawan yang bersangkutan (11). Berdasarkan penelitian
Mardijanto dan Mubasysyir (1) menyatakan bahwa pelaksanaan MTBS yang telah
berjalan bergantung pada petugas yang sudah pernah dilatih.
|
LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS
A. Landasan Teori
Manajemen
Terpadu Balita Sakit merupakan suatu pendekatan keterpaduan dalam tatalaksana
bayi dan balita sakit yang datang berobat ke fasilitas rawat jalan di pelayanan
kesehatan dasar. MTBS mencakup upaya perbaikan manajemen penatalaksanaan
terhadap penyakit seperti pneumonia, diare, campak, malaria, infeksi telinga,
malnutrisi serta upaya peningkatan pelayanan kesehatan, pencegahan penyakit
seperti imunisasi, vitamin A dan konseling pemberian ASI atau makan (3).
Pelaksanaan MTBS berupa proses manajemen
kasus dengan langkah-langkah antara lain menilai, mengklasifikasikan penyakit,
menentukan tindakan dan pengobatan atau pelayanan tindak lanjut dan memberi konseling bagi ibu. Penerapan MTBS di
puskesmas merupakan suatu sistem, sehingga keterkaitan peran dan tanggungjawab
antar petugas sangat erat. Kelancaran kegiatan ini didukung pula dengan adanya
sarana dan prasarana yang tersedia di puskesmas termasuk juga dukungan
manajemen dari dinkes (3,6,16).
|
Secara umum prestasi kerja yang dimiliki seseorang dipengaruhi oleh
beberapa faktor baik dari dalam diri (internal)
maupun dari luar (external). Faktor
dari dalam diri seperti pengetahuan, sikap, pendidikan, pengalaman /lama
bekerja, motivasi. Sementara faktor dari
luar antara lain adanya insentif dan pelatihan (8).
B. Hipotesis
1. Ada hubungan pengetahuan perawat/bidan
dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru.
2. Ada hubungan motivasi perawat/bidan dengan
pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru
3. Ada hubungan pendidikan perawat/bidan
dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru
4. Ada hubungan pelatihan perawat/bidan
dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru
5. Ada hubungan pengalaman kerja
perawat/bidan dengan pelaksanaan MTBS di
Puskesmas se-kota Banjarbaru
A. Rancangan Penelitian
Penelitian
ini bersifat observasional analitik dengan menggunakan pendekatan
cross sectional
B. Subjek Penelitian
Subjek
penelitian adalah seluruh perawat dan
bidan yang aktif bertugas di poli anak / MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru sebanyak
32 orang.
C. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah
kuesioner dan daftar tilik pengamatan tata laksana MTBS. Kuesioner yang digunakan
telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas dengan hasil terlampir (lampiran
5). Sumber referensi dalam pembuatan kuesioner pengetahuan diambil dari modul
pelatihan MTBS revisi tahun 2008.
D. Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas
Variabel
bebas pada penelitian ini adalah pengetahuan, motivasi, pendidikan, pelatihan
dan pengalaman kerja perawat/bidan.
2. Variabel Terikat
|
E. Definisi Operasional
1. Pelaksanaan MTBS
Pelaksanaan
MTBS adalah kegiatan yang dilakukan perawat/bidan dalam tatalaksana balita
sakit umur 2 bulan – 5 tahun dimulai dengan
anamnesa, menilai dan menentukan klasifikasi penyakit, menentukan
tindakan / pengobatan atau tindak lanjut, konseling kepada ibu. Variabel ini
diukur menggunakan daftar tilik pengamatan tatalaksana MTBS, dengan skala
pengukuran adalah ordinal.
Hasil pengukuran :
B (item yang benar)
Skor
= -------------------------- x 100%
Seluruh item
Penilaian : Pelaksanaan Baik : nilai ≥ 75
Pelaksanaan Kurang : nilai < 75
2. Pengetahuan
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang
diketahui oleh perawat/bidan tentang MTBS yaitu pengertian, menilai dan
mengklasifikasikan penyakit termasuk menilai tanda bahaya umum,
tindakan/pengobatan yang dilakukan, konseling, dan tindak lanjut. Variabel ini
diukur menggunakan kuesioner, dengan skala pengukuran adalah ordinal. Penentuan
nilai pengetahuan menggunakan skala Guttman
yaitu untuk mendapatkan jawaban yang tegas terhadap suatu permasalahan yang
ditanyakan. Penentuan nilai pengetahuan menggunakan pilihan jawaban sebagai
berikut :
a. Jika jawaban benar, diberi skor 1
b. Jika jawaban salah, diberi skor 0
Data yang diperoleh, dikumpulkan kemudian
dihitung persentase dengan menggunakan rumus :
Jumlah
jawaban yang benar x 100%
Perhitungan skor
=
--------------------------------------------
Jumlah pertanyaan
Penilaian
: Pengetahuan baik :
51 – 100 %
Pengetahuan
kurang : 0 – 50 %
3. Motivasi
Motivasi
adalah dorongan yang timbul pada diri
perawat/bidan untuk melaksanakan MTBS. Variabel ini diukur menggunakan kuesioner,
dengan skala pengukuran adalah ordinal.
Hasil pengukuran menggunakan skala likert yaitu :
Pernyataan Positif : Pernyataan
Negatif :
Sangat Setuju : 4 Sangat Tidak
Setuju : 4
Setuju : 3 Tidak
Setuju : 3
Tidak Setuju : 2 Setuju : 2
Sangat Tidak Setuju : 1 Sangat Setuju : 1
Setelah diberi bobot nilai selanjutnya dijumlahkan
dan dibuat kategori dari setiap instrumen untuk kualitas jawaban dari responden
berdasar nilai skor kemudian ditetapkan klasifikasi (kriteria nilai) sebagai
berikut :
a. Nilai tertinggi 15 x
4 = 60
b. Nilai terendah 15 x
1 = 15
c. Menentukan range, dengan cara nilai
tertinggi dikurangi nilai terendah yaitu :
60 – 15 = 45
d. Range dibagi 2 kategori, untuk lebar
interval dari kategori nilai yang akan dibuat yaitu 45 : 2 = 22,5
Berdasarkan perhitungan diatas, maka
klasifikasi penilaian yaitu :
a.
Motivasi tinggi :
39 - 60
b.
Motivasi rendah :
15 - 38
4.
Pendidikan
Pendidikan adalah pendidikan formal
tertinggi yang dimiliki responden yang didapat baik sebelum bekerja maupun
setelah bekerja sebagai perawat / bidan. Variabel ini diukur menggunakan
kuesioner, dengan skala pengukuran adalah ordinal. Hasil pengukuran
dikategorikan menjadi 2 kategori, yaitu :
a.
Tinggi : DIII Keperawatan / DIII Kebidanan
b.
Sedang : SPK / DI Kebidanan
5. Pelatihan
Pelatihan
adalah pelatihan tentang MTBS yang pernah diikuti oleh responden. Variabel ini
diukur menggunakan kuesioner, dengan skala pengukuran adalah ordinal. Hasil
pengukuran dikategorikan menjadi 2 kategori, yaitu :
a. Pernah
mengikuti pelatihan MTBS
b. Tidak pernah mengikuti
pelatihan MTBS
6. Pengalaman kerja
Pengalaman
kerja adalah lama bekerja perawat/bidan sejak diangkat sebagai pegawai hingga
pada saat penelitian dilakukan. Variabel ini diukur menggunakan kuesioner,
dengan skala pengukuran adalah ordinal. Hasil pengukuran dikategorikan menjadi
2 kategori, yaitu :
a. Bekerja > 3 tahun
b. Bekerja ≤ 3 tahun
F. Prosedur Penelitian
Melakukan
perizinan untuk mengadakan penelitian di seluruh Puskesmas se-kota Banjarbaru.
Instrumen berupa kuesioner disusun dengan pertanyaan tentang pengetahuan,
motivasi, pendidikan, pelatihan dan pengalaman bekerja. Sebelum penelitian
dilakukan uji validitas dan reliabilitas kuesioner kepada 15 orang
perawat/bidan di Puskesmas wilayah kerja kabupaten Banjar yang memiliki
karakteristik yang sama yaitu Puskesmas Martapura dan Pasayangan.
Melakukan
wawancara terhadap perawat/bidan dengan terlebih dahulu meminta persetujuan
untuk bersedia dijadikan responden. Melakukan observasi terhadap pelaksanaaan
MTBS yang dilakukan perawat/bidan dengan menggunakan daftar tilik pengamatan
tatalaksana balita sakit.
G. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data
Data
yang dikumpulkan yaitu data primer dan
data sekunder. Data primer didapatkan melalui wawancara kepada responden dengan
menggunakan kuesioner. Selain itu melalui observasi dengan menggunakan daftar
tilik pengamatan tata laksana MTBS. Data sekunder didapatkan melalui laporan
bulanan dan laporan tahunan yang ada di Puskesmas se-kota Banjarbaru dan Dinas
Kesehatan Kota Banjarbaru.
Data diolah dengan cara editing data, pengkodean dan
pemasukan data. Editing dilakukan untuk memastikan bahwa data yang diperoleh
telah lengkap dan tidak ada kesalahan dalam pengisian. Pengkodean data dilakukan setelah data di edit dan
sebelum diolah dengan komputer. Data yang telah dikoding diolah dengan bantuan
komputer. Apabila ada kesalahan data, maka dilakukan perbaikan data saat
pengolahan data.
H. Cara Analisis Data
Data yang
telah terkumpul kemudian dikelompokkan, ditabulasi dan dilakukan analisis data
untuk melihat hubungan antara dua variabel yaitu variabel independen dan
variabel dependen. Untuk membuktikan adanya hubungan diantara dua variabel
tersebut digunakan uji Chi Square
dengan tingkat kemaknaan 95 %.
I. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian
dilakukan di seluruh Puskesmas se-kota Banjarbaru yaitu sebanyak 7 puskesmas
pada bulan Januari sampai Februari 2010.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian
ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas se-kota Banjarbaru sebanyak 7 Puskesmas
yaitu Puskesmas Banjarbaru, Puskesmas Liang Anggang, Puskesmas Landasan Ulin, Puskesmas
Cempaka, Puskesmas Sei Besar, Puskesmas Banjarbaru Utara dan Puskesmas Guntung
Payung. Ada satu puskesmas yang baru diresmikan pada tanggal 23 Februari 2010
yaitu Puskesmas Sei ulin tidak termasuk tempat penelitian karena di puskesmas
tersebut masih dalam tahap persiapan pelaksanaan kegiatan.
Subyek penelitian semula yang diambil saat
studi pendahuluan adalah seluruh jumlah perawat / bidan yang aktif di poli anak
/ MTBS sebanyak 35 orang. Tetapi ketika penelitian dilakukan ada 5 orang yang
tidak dapat diteliti disebabkan 1 orang cuti melahirkan, 2 orang tidak aktif
lagi dipoli anak dan 2 orang dipindah ke Puskesmas Sei Ulin. Ada tambahan 2
orang perawat yang bertugas di poli anak/MTBS sejak bulan Desember 2009
sehingga jumlah seluruh subyek penelitian adalah 32 orang.
A. Pelaksanaan MTBS
No
|
Pelaksanaan MTBS
|
Frekuensi
|
Persentase
|
1
|
Baik
|
10
|
31,3
|
2
|
Kurang
|
22
|
68,8
|
Jumlah
|
32
|
100
|
Tabel diatas menunjukkan bahwa pelaksanaan
MTBS oleh perawat / bidan di Puskesmas se-kota Banjarbaru sebagian besar masih
kurang (68,8 %). Pelaksanaan MTBS
terdiri dari 4 tahap yang harus dilakukan oleh perawat / bidan yaitu anamnesa,
menilai dan menentukan klasifikasi penyakit, menentukan tindakan / pengobatan
atau tindak lanjut, konseling kepada ibu. Berdasarkan hasil penelitian ( lihat
lampiran 7 ) secara keseluruhan menunjukkan masing-masing nilai untuk tahapan
pelaksanaan MTBS yaitu anamnesa (70,31
%) , penilaian dan klasifikasi (47,39
%), tindakan (60,42 %), konseling (22,5 %). Semua hasil ini apabila
dibandingkan dengan standar yang ada yaitu 75, masih dibawah standar.
Azwar (19)
mengemukakan bahwa untuk kepentingan umum seperti pelayanan kesehatan
diperlukan tenaga, dana, sarana dan metoda. Tenaga memegang peranan paling
penting untuk mencapai keberhasilan dalam pelaksanaan suatu tindakan. Kurangnya pelaksanaan MTBS oleh perawat / bidan
di Puskesmas se-kota Banjarbaru diduga disebabkan beberapa hal, diantaranya
dari faktor tenaga pelaksana MTBS yaitu perawat / bidan. Berdasarkan observasi
di lapangan menunjukkan bahwa perawat / bidan yang bertugas dipoli anak / MTBS
mempunyai beban tugas yang lain sehingga jadwal yang ada sering tidak dipatuhi.
Perawat yang pernah dilatih MTBS bahkan sama sekali tidak bertugas di poli MTBS
tetapi bertugas menjalankan kegiatan lain. Di beberapa puskesmas penanganan
balita sakit dilakukan langsung oleh dokter sehingga tahap pelaksanaan MTBS
tidak dilaksanakan oleh perawat / bidan.
Menurut Gibson (26), kinerja seorang karyawan
dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu faktor internal (dalam diri seseorang) dan
eksternal. Salah satu faktor eksternal yaitu beban kerja yang terlalu banyak.
Penelitian Mardijanto dan Mubasysyir (1) tentang evaluasi pelaksanaan MTBS
menyimpulkan bahwa pelaksanaan MTBS telah berjalan bergantung pada petugas yang
pernah dilatih.
Penyebab lain kurangnya pelaksanaan MTBS diduga disebabkan petugas saat
melakukan pelayanan MTBS tidak menyertakan formulir MTBS. Namun berdasarkan
observasi di lapangan didapatkan pula petugas mengisi formulir pencatatan
setelah pelayanan pada semua balita sakit selesai, hal ini dilakukan dengan
alasan untuk mempercepat waktu pelayanan. Formulir pencatatan MTBS, buku bagan
dan KNI ( kartu nasihat Ibu ) merupakan alat bantu atau media yang sangat
berguna sebagai acuan tata laksana balita sakit. Kenyataan di lapangan bahan
cetakan tersebut kurang tersedia pada beberapa puskesmas.
Menurut Green (9) perilaku seseorang dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu
salah satunya adalah faktor pendukung yang terwujud dalam tersedia atau
tidaknya fasilitas dan sarana untuk mendukung perilakunya. Penelitian Hafizhah
(27) mengemukakan bahwa salah satu variabel yang mempengaruhi terhadap
kepatuhan petugas kesehatan terhadap algoritme MTBS adalah faktor sumber daya dimana
faktor sumber daya kurang tersedia akan mempunyai risiko 7,2 kali untuk tidak
patuh terhadap pengisian formulir algoritme MTBS.
Berdasarkan wawancara dengan pengelola MTBS di
Dinas Kesehatan diketahui bahwa selama tahun 2009 evaluasi yang dilakukan Dinas
Kesehatan terkait pelaksanaan MTBS sebanyak 3 kali yaitu 1 kali evaluasi
pemantauan pasca pelatihan MTBS ke semua puskesmas. Evaluasi lainnya sebanyak 2
kali dilakukan tetapi tidak semua puskesmas. Berdasarkan wawancara dengan
petugas puskesmas, evaluasi pelaksanaan MTBS dilakukan saat rapat bulanan
tetapi hanya terbatas pada hasil dari pelaksanaan MTBS terkait dengan cakupan
program. Evaluasi tersebut juga tidak rutin dilakukan setiap bulan. Supervisi
khusus secara rutin belum dilakukan baik di tingkat kabupaten maupun tingkat
puskesmas, terutama untuk mengevaluasi proses pelaksanaan terkait dengan
kepatuhan petugas dalam melakukan tahap-tahap pelaksanaan MTBS. Menurut
Notoatmodjo (9), evaluasi merupakan bagian yang penting dari proses manajemen,
karena dengan evaluasi akan diperoleh umpan balik terhadap program atau
pelaksanaan kegiatan. Tanpa adanya evaluasi, sulit untuk mengetahui sejauhmana
tujuan-tujuan yang direncanakan itu telah berhasil atau belum.
Penelitian Hafizhah (27) mengemukakan bahwa salah satu variabel yang
mempengaruhi terhadap kepatuhan petugas kesehatan terhadap algoritme MTBS
adalah faktor pembinaan dimana faktor pembinaan kurang akan mempunyai risiko 12
kali untuk tidak patuh terhadap pengisian formulir algoritme MTBS. Hasil penelitian Surjono dkk (28) menyimpulkan bahwa kualitas
orientasi yang baik dengan didukung sarana dan prasarana serta proses integrasi
dan monitoring evaluasi yang baik, maka akan menjamin terlaksananya program.
B. Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Pelaksanaan MTBS
1. Tingkat Pengetahuan
Distribusi frekuensi responden berdasarkan
pengetahuan dapat dilihat pada tabel 5.2
Tabel 5.2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan
pengetahuan perawat / bidan di Puskesmas se-kota Banjarbaru Januari – Februari
2010
No
|
Pengetahuan
|
Frekuensi
|
Persentase
|
1
|
Baik
|
27
|
84,4
|
2
|
Kurang
|
5
|
15,6
|
Jumlah
|
32
|
100
|
Pengetahuan sebagian besar responden
mengenai MTBS sudah bisa dikatakan baik, ini bisa dilihat dari tabel 5.2 bahwa
sebanyak 27 orang (84,375 %) responden yang pengetahuannya termasuk dalam
kategori baik.
Tabel 5.3 Hubungan pengetahuan perawat/bidan dengan
pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru Januari – Februari 2010
No
|
Pengetahuan
|
Pelaksanaan MTBS
|
|||||
Baik
|
Kurang
|
Jumlah
|
%
|
||||
Jumlah
|
%
|
Jumlah
|
%
|
||||
1
|
Baik
|
10
|
31,25
|
17
|
53,125
|
27
|
84,375
|
2
|
Kurang
|
0
|
0
|
5
|
15,625
|
5
|
15,625
|
Jumlah
|
10
|
31,25
|
22
|
68,75
|
32
|
100
|
Tabel
diatas menunjukkan bahwa responden yang memiliki pengetahuan baik sebanyak 10
orang (31,25 %) melakukan pelaksanaan MTBS dengan baik dan 17 orang (53,125 %)
melakukan pelaksanaan MTBS kurang. Tabel di atas tidak dapat diuji dengan chi square karena ada nilai expected < 5, karena itu dipakai uji fisher exact dengan hasil P = 0,155 (P > ά) artinya tidak ada hubungan antara pengetahuan
perawat / bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru.
Berdasarkan
teori, seharusnya pengetahuan berhubungan dengan pelaksanaan kegiatan, semakin baik pengetahuan seseorang semakin baik
pula dalam pelaksanaan kegiatan tersebut. Menurut Notoatmodjo (9), tingkat pengetahuan seseorang mempengaruhi
perilaku individu, makin tinggi pengetahuan seseorang makin tinggi kesadaran
untuk berperan serta. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian
Mardijanto dan Mubasysyir (5)
bahwa terdapat hubungan bermakna antara pengetahuan dengan penatalaksanaan
pneumonia dengan MTBS. Sebaliknya pada penelitian yang dilakukan di wilayah Puskesmas
se-kota Banjarbaru tidak terbukti adanya hubungan antara pengetahuan dengan
pelaksanaan MTBS.
Penyebab
tidak adanya hubungan antara pengetahuan perawat / bidan dengan pelaksanaan
MTBS pada penelitian ini diduga karena petugas saat melakukan pelayanan pada
balita sakit tidak menyertakan formulir
pencatatan MTBS sebagai bahan acuan tata laksana MTBS. Petugas melakukan
tatalaksana MTBS berdasarkan ingatan dan kebiasaaan saja, sehingga pada
pelaksanaan ada beberapa hal penting yang terlewatkan. Menurut Dirjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat (3),
MTBS berupa proses manajemen kasus disajikan dalam suatu bagan yang berguna
untuk mempermudah petugas kesehatan mengikuti setiap langkah untuk memeriksa
balita sakit. Cara penilaian bergantung
pada masalah yang dikerjakan yaitu dengan mengisi format pencatatan MTBS.
Formulir
MTBS merupakan logistik pencatatan yang harus ada dalam penerapan MTBS di
puskesmas serta penting untuk diisi oleh setiap petugas saat melaksanakan
penanganan balita sakit dengan MTBS. Melalui formulir ini tergambar pelaksanaan
tahap-tahap MTBS yang dilakukan petugas
sehingga kelengkapan dalam pengisian formulir berpengaruh pada kualitas
pelaksanaan MTBS itu sendiri (6). Selain hal tersebut diatas, berdasarkan
observasi petugas juga jarang menggunakan Buku Bagan MTBS sebagai acuan untuk
menetapkan klasifikasi, tindakan dan konseling. Petugas tidak
pernah menggunakan KNI (Kartu Nasihat Ibu) saat melakukan konseling. Di
beberapa puskesmas masih terdapat kurangnya ketersediaan formulir MTBS, KNI
serta tidak diletakkannya buku bagan di
ruang MTBS.
Formulir
pencatatan MTBS, KNI dan buku bagan
merupakan alat bantu atau media yang diperlukan dalam melakukan tata laksana
MTBS. Menurut Notoatmodjo
(9), salah satu kegunaan alat bantu atau media adalah membantu menegakkan
pengetahuan yang diperoleh, lebih mempermudah penyampaian dan penerimaan
informasi. Selain itu, alat bantu atau media juga akan membantu dalam melakukan
pelayanan kesehatan menjadi lebih baik dan penyampaian pesan lebih jelas.
2. Motivasi
Distribusi frekuensi responden berdasarkan
motivasi untuk melaksanakan MTBS dapat dilihat pada tabel 5.4
Tabel 5.4 Distribusi frekuensi responden berdasarkan
motivasi perawat / bidan di Puskesmas
se-kota Banjarbaru Januari – Februari 2010
No
|
Motivasi
|
Frekuensi
|
Persentase
|
1
|
Tinggi
|
31
|
96,9
|
2
|
Rendah
|
1
|
3,1
|
Jumlah
|
32
|
100
|
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan
hampir semua responden mempunyai motivasi tinggi yaitu sebanyak 31 orang (96,9
%)
Tabel 5.5 Hubungan motivasi perawat/bidan dengan
pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru Januari – Februari 2010
No
|
Motivasi
|
Pelaksanaan MTBS
|
|||||
Baik
|
Kurang
|
Jumlah
|
%
|
||||
Jumlah
|
%
|
Jumlah
|
%
|
||||
1
|
Tinggi
|
9
|
28,125
|
22
|
68,75
|
31
|
96,875
|
2
|
Rendah
|
2
|
3,125
|
0
|
0
|
1
|
3,125
|
Jumlah
|
10
|
31,25
|
22
|
68,75
|
32
|
100
|
Tabel di
atas tidak dapat diuji dengan chi square
karena ada nilai expected < 5,
karena itu dipakai uji fisher exact
dengan hasil P = 0,313 (P > ά) artinya tidak ada hubungan antara motivasi
perawat / bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru.
Motivasi pada hampir seluruh responden tinggi (96,875 %), tetapi hanya 28,125 % saja yang
pelaksanaan MTBSnya baik. Seharusnya apabila motivasi tinggi maka pelaksanaan
juga baik.
Tidak adanya hubungan antara
motivasi perawat / bidan dengan pelaksanaan MTBS diduga petugas mempunyai tugas rangkap sehingga saat jadwal
bertugas di poli anak/MTBS tidak dipatuhi. Tugas rangkap adalah pekerjaan yang
menjadi tanggung jawab responden di puskesmas selain sebagai petugas MTBS
antara lain petugas pustu, pengelola program Tb paru, surveilance, petugas poli
umum (dewasa), poli KIA, mengikuti kegiatan luar gedung seperti pusling,
posyandu, bendahara, dan lain-lain. Menurut Russel (29) kondisi kerja yang mempunyai beban kerja
semakin meningkat merupakan suatu kondisi yang dapat meningkatkan kesalahan
dalam bekerja dan akan berdampak pada penurunan kualitas pelayanan yang
diberikan kepada klien.
Berdasarkan observasi, petugas lebih
cenderung melakukan tugas yang seperti tersebut di atas daripada mengerjakan
MTBS karena MTBS bukan sebagai program hanya merupakan suatu proses manajemen
penanganan balita sakit yang digunakan di pelayanan kesehatan dasar. Sementara
tugas lain yang menjadi tanggung jawab petugas sebagian besar merupakan
kegiatan program di puskesmas sehingga dianggap lebih penting untuk
dilaksanakan terlebih dulu. Selain itu, tidak ada reward atau insentif khusus bagi petugas MTBS.
Motivasi merupakan pendorong seseorang
untuk bekerja, dipengaruhi faktor internal dan eksternal. Motivasi eksternal merupakan
pengaruh dari orang lain atau lingkungan. seperti jenis pekerjaan dan sifatnya,
situasi lingkungan tempat bekerja, insentif dan dorongan/bimbingan atasan (20).
Teori hierarki Maslow menjelaskan bahwa kebutuhan kita digambarkan menjadi lima
kategori sebagai pendorong motivasi kerja.
Salah satunya adalah kebutuhan penghargaan diri yaitu respek dan pujian
atas keberhasilan dan merasa dirinya berharga. Bentuk pemenuhan ini berupa
penghargaan, bonus dan insentif (21).
Insentif tidak selalu harus berwujud uang,
tetapi bisa berupa penghargaan dan pujian atas prestasi kerja, promosi,
pemberian perlengkapan khusus yang dibutuhkan ruang kerjanya, keadaan pekerjaan
yang memuaskan, sikap pimpinan (8). Model hubungan manusia juga menjelaskan
bahwa para karyawan dimotivasi oleh banyak faktor tidak hanya uang, tetapi juga
kebutuhan untuk berprestasi dan memperoleh pekerjaan yang berarti. Para karyawan
lebih menyukai pemenuhan kepuasan dari suatu prestasi kerja yang baik sehingga
dapat diberi tanggung jawab yang lebih besar untuk pembuatan keputusan dan
pelaksanaan tugas (30).
Hasil
penelitian ini sama dengan penelitian Suardiana (31) yang menunjukkan tidak
adanya hubungan secara bermakna antara motivasi dengan kinerja petugas
kesehatan dalam diagnosa pneumonia balita.
3. Pendidikan
Tabel 5.6 Distribusi frekuensi responden berdasarkan
pendidikan perawat / bidan di Puskesmas se-kota Banjarbaru Januari – Februari 2010
No
|
Pendidikan
|
Frekuensi
|
Persentase
|
1
|
Tinggi
|
14
|
43,8
|
2
|
Sedang
|
18
|
56,3
|
Jumlah
|
32
|
100
|
Tabel 5.7 Hubungan pendidikan perawat/bidan dengan
pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru Januari – Februari 2010
No
|
Pendidikan
|
Pelaksanaan MTBS
|
|||||
Baik
|
Kurang
|
Jumlah
|
%
|
||||
Jumlah
|
%
|
Jumlah
|
%
|
||||
1
|
Tinggi
|
4
|
12,5
|
10
|
31,25
|
14
|
43,75
|
2
|
Sedang
|
6
|
18,75
|
12
|
37,5
|
18
|
56,25
|
Jumlah
|
10
|
31,25
|
22
|
68,75
|
32
|
100
|
Tabel di
atas tidak dapat diuji dengan chi square
karena ada nilai expected < 5,
karena itu dipakai uji fisher exact
dengan hasil P = 0,1 (P > ά) artinya tidak ada hubungan antara pendidikan
perawat / bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru. Tidak adanya hubungan ini berarti tingkat
pendidikan tidak selalu menentukan baik tidaknya pelaksanaan MTBS. Hal ini
menunjukkan bahwa meskipun dengan tingkat pendidikan yang sedang (SPK/D1
Kebidanan) ternyata responden dapat melakukan pelaksanaan dengan baik. Ini
dikarenakan sebagian besar responden sudah memperoleh pelatihan MTBS dan
mempunyai masa kerja yang lama.
Tingkat pendidikan tidak terbukti berpengaruh terhadap pelaksanaan MTBS
disebabkan tingkat pendidikan seseorang merupakan landasan daya tangkap dan
daya pengertian terhadap suatu hal setelah menerima informasi tertentu. Jadi
jika tidak ada informasi baru yang diterima maka tidak ada pula yang hendak
dimengerti atau dianalisa (32). Hasil penelitian Sujono dan Hari (33) menunjukkan tidak ada hubungan antara
tingkat pendidikan perawat dengan kinerja perawat dalam memberikan pelayanan
keperawatan pada klien
4. Pelatihan
Tabel 5.8 Distribusi frekuensi responden berdasarkan
pelatihan perawat / bidan di Puskesmas
se-kota Banjarbaru Januari – Februari 2010
No
|
Pelatihan
|
Frekuensi
|
Persentase
|
1
|
Pernah
|
21
|
65.6
|
2
|
Tidak pernah
|
11
|
34.4
|
Jumlah
|
32
|
100
|
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan
sebagian besar responden telah mengikuti pelatihan MTBS yaitu sebanyak 21 orang
(65,6 %)
Tabel 5.9 Hubungan pelatihan perawat / bidan dengan
pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru
No
|
Pelatihan
|
Pelaksanaan MTBS
|
|||||
Baik
|
Kurang
|
Jumlah
|
%
|
||||
Jumlah
|
%
|
Jumlah
|
%
|
||||
1
|
Pernah
|
8
|
25
|
13
|
40,625
|
21
|
65,6
|
2
|
Tidak pernah
|
2
|
6,25
|
9
|
28,125
|
11
|
34,4
|
Jumlah
|
10
|
31,25
|
22
|
68,75
|
32
|
100
|
Tabel
di atas tidak dapat diuji dengan chi
square karena ada nilai expected <
5, karena itu dipakai uji fisher exact
dengan hasil P = 0,425 (P > ά) artinya tidak ada hubungan antara pelatihan
perawat / bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru. Namun
dapat dilihat pada tabel jumlah responden yang pernah dilatih sebanyak 8 orang
(25%) menunjukkan pelaksanaan MTBS baik,
sedangkan tidak pernah dilatih sebanyak 2 orang (6,25%). Berdasarkan tabel pada
kolom pelaksanaan dengan kategori baik, memperlihatkan bahwa petugas yang
pernah pelatihan MTBS lebih banyak melaksanakan MTBS dengan baik. Petugas yang
belum pernah dilatih, mereka dapat belajar dari petugas yang sudah dilatih dan
dengan latihan dan rutinitas yang dilakukan setiap hari maka tata laksana MTBS
dapat dikerjakan oleh petugas tersebut dengan baik.
Tidak adanya hubungan antara pelatihan perawat / bidan dengan pelaksanaan
MTBS diduga disebabkan pada beberapa puskesmas pelayanan pada balita sakit lebih banyak ditangani langsung oleh dokter
sehingga sebagian bahkan semua tahap-tahap pada pelaksanaan MTBS seperti
anamnesa, penilaian dan klasifikasi, tindakan dan konseling tidak dilaksanakan
oleh perawat/bidan.
Semua
tenaga kesehatan perlu terus menerus belajar. Pengetahuan dan pemahaman yang
diperoleh saat pelatihan ditingkatkan dengan mempraktekkan ketrampilan yang
didapat dan dikembangkan dengan praktek berulang sampai tingkat kinerja yang
dibutuhkan tercapai (34). Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Suardiana
(31) yang menunjukkan tidak adanya hubungan secara bermakna antara pelatihan
dengan kinerja petugas kesehatan dalam diagnosa pneumonia balita.
5. Pengalaman Kerja
Tabel 5.10 Distribusi frekuensi responden berdasarkan
pengalaman kerja perawat / bidan di Puskesmas se-kota Banjarbaru Januari – Februari 2010
No
|
Pengalaman Kerja
|
Frekuensi
|
Persentase
|
1
|
> 3 tahun
|
25
|
78,1
|
2
|
≤ 3 tahun
|
7
|
21,9
|
Jumlah
|
32
|
100
|
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan
sebagian besar responden mempunyai pengalaman kerja lebih dari 3 tahun sebanyak 25 orang (78,1%)
Tabel 5.11 Hubungan pengalaman kerja perawat/bidan dengan
pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru Januari – Februari 2010
No
|
Pengalaman Kerja
|
Pelaksanaan MTBS
|
|||||
Baik
|
Kurang
|
Jumlah
|
%
|
||||
Jumlah
|
%
|
Jumlah
|
%
|
||||
1
|
> 3 tahun
|
9
|
28,125
|
16
|
50
|
25
|
78,125
|
2
|
≤ 3 tahun
|
1
|
3,125
|
6
|
28,125
|
7
|
21,875
|
Jumlah
|
10
|
31,25
|
22
|
68,75
|
32
|
100
|
Tabel di atas tidak dapat diuji
dengan chi square karena ada nilai expected < 5, karena itu dipakai uji fisher exact dengan hasil P = 0,387
(P > ά) artinya tidak ada
hubungan antara pengalaman kerja perawat / bidan dengan pelaksanaan MTBS di
puskesmas se-kota Banjarbaru. Namun dapat dilihat pada tabel jumlah responden yang pengalaman kerjanya
> 3 tahun sebanyak 9 orang (28,125 %) menunjukkan pelaksanaan MTBS baik, sedangkan responden yang pengalaman
kerjanya ≤ 3 tahun sebanyak 1 orang (3,125%). Bagi petugas yang memiliki pengalaman
kerja ≤ 3 tahun dengan pelaksanaan MTBS kategori kurang mereka dapat belajar
dari petugas yang sudah berpengalaman. Dengan latihan dan rutinitas yang
dilakukan setiap hari maka tata laksana MTBS dapat dikerjakan oleh petugas tersebut dengan
baik.
Hasil penelitian menunjukkan responden yang masa kerjanya > 3 tahun
pelaksanaan kurang (50%) diduga terjadi disebabkan kejenuhan dalam bekerja
mulai dirasakan karena berada pada lingkungan yang sama dan dalam jangka waktu
yang lama. Menurut Notoatmodjo (34), kondisi dapat menumpuk dan berpengaruh
terhadap pelayanan yang diberikan. Kejenuhan merupakan sumber frustasi mendasar
bagi karyawan, stagnasi tugas dapat mengecewakan karena tanggung jawab yang
tidak berubah tidak memberikan tantangan bagi karyawan. Hasil penelitian ini
sama dengan penelitian Suardiana (31) yang menunjukkan tidak adanya hubungan
secara bermakna antara pengalaman kerja dengan kinerja petugas kesehatan dalam
diagnosa pneumonia balita.
Penelitian
ini masih terdapat kekurangan dan keterbatasan seperti pada pengamatan
pelaksanaan MTBS terutama tahap penilaian dan klasifikasi, peneliti melakukan
pengamatan secara umum saja. Ada 4 keluhan utama yang harus ditanyakan dan
dinilai yaitu batuk dan atau sukar bernafas, diare, demam dan masalah telinga.
Apabila satu pasien yang datang tidak
menderita empat keluhan tersebut maka penilaian difokuskan pada
kepatuhan petugas dalam menanyakan adanya keempat keluhan tersebut. Apabila
keluhan tidak ada tetapi ditanyakan maka penilaian menjadi 100. Sementara itu
pengamatan hanya dilakukan satu kali untuk setiap responden.
BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian pelaksanaan
MTBS oleh perawat/bidan di Puskesmas se-kota Banjarbaru periode Januari-Februari
2010 maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota
Banjarbaru tergolong kategori kurang ( 68,8%
), tingkat pengetahuan perawat/bidan mengenai MTBS tergolong kategori pengetahuan
baik ( 84,4 % ), motivasi perawat/bidan untuk melaksanakan MTBS tergolong
motivasi tinggi ( 96,9 % ), pendidikan perawat/bidan tergolong pendidikan sedang ( 56,3 % ), pelatihan
perawat / bidan tergolong pernah pelatihan ( 65,6 % ), pengalaman kerja perawat
/ bidan tergolong masa kerja > 3 tahun
( 78,1 % ).
2. Tidak ada hubungan pengetahuan
perawat/bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru.
3. Tidak ada hubungan motivasi perawat/bidan
dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru
4. Tidak ada hubungan pendidikan
perawat/bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru
5.
|
6. Tidak ada hubungan pengalaman kerja
perawat/bidan dengan pelaksanaan MTBS di Puskesmas se-kota Banjarbaru
B. Saran
- Bagi Dinas Kesehatan kota Banjarbaru diharapkan perlu mengadakan refresing MTBS bagi perawat/bidan guna meningkatkan kualitas pelaksanaan MTBS dan mengadakan supervisi ke puskesmas secara berkala untuk memantau pelaksanaan MTBS baik terhadap kepatuhan petugas terhadap protap maupun pemantauan program.
- Bagi pimpinan puskesmas diharapkan dapat mengaktifkan kembali petugas yang pernah dilatih MTBS supaya ilmu yang didapat tidak hilang begitu saja dan meningkatkan pengadaan bahan cetakan seperti formulir MTBS, KNI serta melakukan evaluasi tingkat puskesmas secara rutin.
- Bagi petugas MTBS diharapkan dapat mematuhi protap yang ada dalam pelaksanaan MTBS guna meningkatkan kualitas penanganan balita sakit.
boleh minta daftar pustakanya?
BalasHapus